Surat Staf Milenial Jokowi kepada Camat Dinilai Maladministrasi, Pengamat: Niat Baik Saja Tak Cukup
Viralnya surat stafsus milenial Presiden Jokowi, Andi Taufan Garuda Putra yang ditujukan kepada camat di seluruh Indonesia menuai polemik.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Viralnya surat staf khusus (stafsus) milenial Presiden Joko Widodo (Jokowi), Andi Taufan Garuda Putra yang ditujukan kepada camat di seluruh Indonesia menuai polemik.
Penggunaan kop Sektretariat Kabinet dan menyebut PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) yang merupakan milik Andi Taufan dinilai tidak tepat.
Ahli hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menilai apa yang dilakukan Andi Taufan merupakan malaadminstrasi dan melanggar hukum.
"Pejabat negara tidak boleh melakukan tindakan administrasi di luar wewenangnya," ungkap Agus saat dihubungi Tribunnews, Selasa (14/4/2020).
Agus pun menilai Ombudsman harus bergerak untuk menangani surat yang kini sudah menjadi perbincangan publik.
"Ombudsman harus bertindak," ungkapnya.
Baca: ICW Desak Jokowi Pecat Andi Taufan Garuda karena Diduga Ada Konflik Kepentingan
Sementara itu Jokowi pun dinilai harus menindak staf milenialnya tersebut.
"Presiden juga harus bertindak, harus diperingatkan itu," ungkapnya.
Agus menilai ranah polemik ini terletak pada pelanggaran kode etik.
Agus menyebut presiden menjadi yang berwenang untuk melakukan penindakan.
Niat Baik Tak Cukup
Lebih lanjut, Agus juga menilai surat tersebut melanggar hukum.
Meskipun, niat yang dilakukan Andi Taufan adalah baik dan merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan.
"Dalam hukum tidak hanya tujuan, tapi juga dengan cara yang baik," ujarnya.
Baca: Wamendes PDTT Telusuri Oknum yang Bermain Dalam Skandal Surat Staf Khusus Presiden
Menurutnya, jika niat baik namun menggunakan cara yang salah, hal tersebut termasuk pelanggaran.
"Harusnya perbuatan baik, niat baik, disertai dengan tidak melanggar hukum," ungkapnya.
Menurut Agus, pejabat negara akan diperhatikan dalam dua aspek.
"Satu ialah kepentingan publik pada kebajikan, kedua pejabat publik harus taat pada hukum," ujarnya.
Jokowi dinilai perlu untuk memberikan penindakan untuk menghindari kejadian lain.
"Ini presiden perlu memberikan tindakan, karena ini bisa memancing pejabat publik lain," ungkapnya.
Menurut Agus, Jokowi dapat memberikan peringatan bahkan mencopot.
"Kalau hukum adminastrasi biasanya diperingatkan dulu sebelum diberhentikan."
"Tapi kalau dianggap mempermalukan presiden bisa juga nanti diganti," ujarnya.
Lebih lanjut, Agus menilai pejabat negara sebaiknya tidak lagi berkecimpung di perusahaan.
"Undang-undang Pejabat Negara sudah mengatur, ini ada indikasi konflik kepentingan," ungkapnya.
Baca: Data Terbaru Kasus Virus Corona di 34 Provinsi Indonesia 14 Maret 2020
Pendapat Ombudsman
Sementara itu. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi keberadaan para staf khusus milenial.
Hal ini dikarenakan para staf tersebut dianggap kerap melakukan blunder.
"Hal ini wajib menjadi perhatian presiden untuk mengevaluasi lagi tugas, fungsi, kewenangan, kompetensi dari staf khusus yang selama ini dibangga-banggakan presiden sebagai milenial tapi ternyata beberapa kali mereka sudah melakukan blunder yang cukup serius," kata Alvin dilansir Kompas.com, Selasa (14/4/2020).
Menurut Alvin, Jokowi harus meninjau urgensi keberadaan staf khusus presiden.
"Kalau benar memerlukan seharusnya diatur lebih ketat lagi agar mereka paham tugas kewajiban kewenangan dan batasan-batasan mereka," kata Alvin.
Selain itu Alvin juga mengkritisi stafsus yang memiliki tim komunikasinya sendiri.
Tugas stafsus memberi masukan kepada presiden dipandang Alvin tidak perlu memiliki tim komunikasi.
Alvin juga menyoroti anggaran yang disiapkan untuk staf khusus presiden di tengah pandemi Covid-19.
"Apakah ini sudah tepat ketika kita harus efisien anggaran, semua kementerian dan lembaga dipangkas, tapi ada kesan menghambur-hamburkan anggaran untuk staf khusus ini," kata Alvin.
Baca: Pemerintah Setujui Penerapan PSBB di Pekanbaru, Ini Alasannya
Minta Maaf
Sementara itu, Andi Taufan telah menyampaikan permohonan maaf terkait keberadaan surat tersebut.
"Saya mohon maaf atas hal ini dan menarik kembali surat tersebut," kata Andi melalui keterangan tertulis, Selasa (14/4/2020) dilansir Kompas.com.
Dijelaskannya, aktivitas perusahaan yang dimiliki Andi dalam memerangi virus corona di tingkat desa itu merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
"Perlu saya sampaikan bahwa surat tersebut bersifat pemberitahuan dukungan kepada Program Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi," ungkap Andi.
Maksud Andi mengirim surat tersebut kepada semua camat di Indonesia adalah untuk gerak cepat dalam pencegahan dan penanggulangan virus corona.
Andi menilai hal itu dapat dilakukan melalui dukungan secara langsung oleh tim lapangan Amartha yang berada di bawah kepemimpinannya.
Andi menjelaskan dukungan tersebut murni atas dasar kemanusiaan dan menggunakan biaya Amartha serta donasi dari masyarakat yang akan dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.
Selain itu, dutegaskan pula dukungan tersebut dilakukan tanpa menggunakan anggaran negara.
"Saya akan terus membantu pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19. Bekerja sama dan bergotong royong dengan seluruh masyarakat, baik pemerintah, swasta, lembaga, dan organisasi masyarakat lainnya untuk menanggulangi Covid-19 dengan cepat," jelas Andi Taufan.
"Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf atas kegaduhan dan ketidaknyamanan yang timbul. Apa pun yang terjadi, saya tetap membantu desa dalam kapasitas dan keterbatasan saya," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang P) (Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim/Ardito Ramadhan)