Gerakan Petisi Online, 92 Akademisi Menolak Omnibus Law
Kalangan akademisi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, karena meminggirkan hak rakyat.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
Selain itu, kata dia, upah dengan sistem jam kerja ini secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan yaitu hak atas upah saat izin haid, cuti hamil dan melahirkan.
Baca: Live Streaming Trans7 Mata Najwa, Bagaimana Penilaian Jokowi dengan Kinerja Menteri Terawan?
“Pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja sehingga tidak berhak mendapatkan upah. Padahal hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja perempuan yang seharusnya dijamin oleh undang-undang.” paparnya.
Sementara itu, ahli hukum lingkungan, Andri Wibisana mengungkapkan lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.
Baca: Update Kasus Covid-19 di Indonesia: Saat Ini Tercatat Ada 193.571 ODP dan 17.754 PDP
Dia menjelaskan, Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana.
Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan. Tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.
“Selain itu, dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Dari sudut pandang pertambangan, Haris Retno Susmiyati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, mengungkapkan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan.
“Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan,” tambahnya.