Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gerakan Petisi Online, 92 Akademisi Menolak Omnibus Law

Kalangan akademisi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, karena meminggirkan hak rakyat.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Gerakan Petisi Online, 92 Akademisi Menolak Omnibus Law
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur menggelar aksi pemanasan menolak Omnibus Law, di Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020). Aksi yang sengaja dipusatkan di Bundaran Waru karena tempatnya strategis untuk menyuarakan penolakan Omnibus Law dan 11 Maret ini merupakan momen penting untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat agar tidak membahas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dengan DPR RI. Surya/Ahmad Zaimul Haq 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebanyak 92 akademisi menandatangani petisi online menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sejak Maret-April 2020.

Mereka terdiri dari 3 Profesor –2 diantaranya adalah Guru Besar, 30 Doktor, 57 Magister dan 2 Sarjana.

Kalangan akademisi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, karena meminggirkan hak rakyat.

Baca: Panja Bahas Omnibus Law Cipta Kerja Besok, Fokus ke Inti Klaster Lapangan Kerja

Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah rancangan yang sarat akan kontroversi dan telah mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil.

Petisi telah diumumkan kepada khalayak publik dalam Konferensi Pers online bertajuk “92 Akademisi Menolak Omnibus Law” pada Rabu 22 April 2020 pukul 14.00 s/d 16.00 WIB.

Pengumuman tersebut sekaligus sebagai simbol penyerahan petisi kepada Presiden dan DPR RI secara terbuka, sehingga dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mencabut Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, mengatakan proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Baca: Perangi Sampah Plastik, Menko Luhut Pastikan Pemerintah Komitmen Perbaiki Citra Sungai Citarum

BERITA REKOMENDASI

Menurut dia, selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR.

Baca: PKS: Mereka Tak Peduli Suara dan Nyawa Rakyat

“Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” kata dia, dalam keterangannya, Rabu (22/4/2020).

Hal yang sama juga diutarakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas, Yonariza. Dia menyatakan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Dia menjelaskan, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme-neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi namun mengorbankan kesejahteraan rakyat serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.

“Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945,” kata dia.

Terkait isu ketenagakerjaan, Devi Rahayu, juga menyesalkan dan menolak adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena menindas kelas pekerja melalui sistem pengupahan berdasar jam kerja.

Dia melihat, di Omnibus Law RUU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan jam kerja dan tentu akan sangat merugikan pekerja karena upah bisa jadi dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP).

Selain itu, kata dia, upah dengan sistem jam kerja ini secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan yaitu hak atas upah saat izin haid, cuti hamil dan melahirkan.

Baca: Live Streaming Trans7 Mata Najwa, Bagaimana Penilaian Jokowi dengan Kinerja Menteri Terawan?

“Pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja sehingga tidak berhak mendapatkan upah. Padahal hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja perempuan yang seharusnya dijamin oleh undang-undang.” paparnya.

Sementara itu, ahli hukum lingkungan, Andri Wibisana mengungkapkan lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.

Baca: Update Kasus Covid-19 di Indonesia: Saat Ini Tercatat Ada 193.571 ODP dan 17.754 PDP

Dia menjelaskan, Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana.

Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan. Tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.

“Selain itu, dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.

Dari sudut pandang pertambangan, Haris Retno Susmiyati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, mengungkapkan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan.

“Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan,” tambahnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas