DPR Sebut Jokowi Abaikan Putusan Mahkamah Agung Soal Iuran BPJS Kesehatan
Putusan Mahkamah Agung hanya membatalkan ketentuan Pasal 34 dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Kuniasih Mufidayati menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung soal Iuran BPJS Kesehatan.
Kurniasih menjelaskan, putusan Mahkamah Agung hanya membatalkan ketentuan Pasal 34 dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019.
Baca: Iuran BPJS Naik, PKS Nilai Pemerintah Beri Contoh Buruk dan Tidak Peduli Terhadap Masyarakat
Sedangkan, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 mengatur banyak hal lainnya yang tidak diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Alasan pembatalan Mahkamah Agung atas Pasal 34 Perpres 75/2019, karena pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS.
Di mana pada Pasal 2 UU SJSN menyatakan Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian, Pasal 2 UU BPJS menyebutkan BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan putusan Mahkamah Agung maka Perpres 64/2020 haruslah tidak bertentangan dengan dua undang-undang di atas," ujar Kurniasih kepada Tribun, Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Dalam hal ini, kata Kurniasih, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 masih menggunakan persepsi dan logika yang sama dengan penerbitan Perpres 75/2019.
"Dengan demikian maka Perpres 64/2020 ini tetap belum menjalankan amar putusan Mahkamah Agung," ucap politikus PKS itu.
"Penerbitan Perpres ini bukan merupakan pelaksanaan amar putusan Mahkamah Agung, di mana apa yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan," sambung Kurniasih.
Menurutnya, penjadwalan kenaikan dengan pemberian waktu tenggang, bukan merupakan jawaban atau pelaksanaan putusan Mahkamah Agung tersebut.
"Tetapi merupakan financial scheme dalam rangka kebijakan keuangan dan hanya berlandaskan pada sudut pandang ekonomi. Bukan perwujudan keadilan sosial, dan jaminan sosial dalam bidang kesehatan," paparnya.
Ia pun menyebut, kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada saat ini tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19.
"Seharusnya pemerintah membantu meringankan beban rakyat di saat Pandemi yang memberatkan ekonomi rakyat, bukan menambah beban rakyat. Regulasi ini juga pasti akan menjadi beban bagi APBD," ujar Kurniasih.
Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Kenaikan ini tertuang di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Pereturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34 itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000.
Baca: Legislator PKS Kecewa dengan Kinerja Pemerintah Tangani Covid-19 di Kuartal I
Sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung melalui putusan perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang permohonannya diajukan KPCDI.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.