Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sebelum Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Harusnya Pemerintah Perbaiki Layanan

MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Sebelum Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Harusnya Pemerintah Perbaiki Layanan
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Kota Kembang melakukan aksi teatrikal saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/1/2020). Dalam aksinya, mereka menyatakan sikap menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan BPJS Kesehatan tanpa menambah beban rakyat. Tribun Jabar/Gani Kurniawan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mengatakan pemerintah seharusnya memperbaiki pelayanan BPJS Kesehatan dan memperhatikan daya beli masyarakat sebelum menaikkan iuran.

Hal ini seperti pertimbangan Mahkamah Agung (MA) pada putusan Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, telah membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.

"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," kata Timboel, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).

Baca: Menkes Terawan Setujui PSBB Palembang dan Prabumulih, Waktu Pelaksanaan Ditentukan Pemerintah Daerah

Berdasarkan pertimbangan MA membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.

Maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri yang kelas I awalnya Rp 160 ribu diturunkan jadi Rp 80 ribu, kelas II yang awalnya Rp. 110 ribu diturunkan menjadi Rp.51 ribu dan kelas 3 dari 42 ribu menjadi Rp. 25.500.

"Kalau bicara pelayanan BPJS, di era Covid 19 ini justru pelayanan BPJS malah cenderung menurun," ujarnya.

Dia mencontohkan seorang pasien Jaminan Kesehatan Nasional ketika harus dirawat inap harus melakukan test covid19, dan pasien diminta bayar Rp 750 ribu untuk test Covid19 tersebut.

Baca: Malaysia Tangkap 1.368 Imigran Ilegal, 421 Warga Negara Indonesia

Berita Rekomendasi

Padahal, kata dia, diatur di Pasal 86 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pasien tidak boleh diminta membayar lagi.

Dia mengungkapkan, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang BPJS mengamanatkan pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin.

Baca: Kemlu RI Tegaskan PMI Tanpa Dokumen di Malaysia Juga Dapat Bantuan dari Pemerintah

Namun, di Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 itu, kata dia, peserta mandiri Kelas III yang juga berasal dari keluarga mampu disubsidi oleh pemerintah.

"Kelas III mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Orang mampu di Kelas II dan Kelas I sudah banyak yang turun kelas ke kelas II ketika Pepres 75 tahun 2019 dirilis," ujarnya.

Dia menambahkan, seharusnya langkah yang diambil melakukan cleansing data PBI dan apabila memang penghuni kelas III mandiri dari keluarga tidak mampu, maka dimasukkan ke PBI. Sementara yang mampu bayar sendiri tanpa subsidi.

"Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Pepres no. 64 ini. Kalau Pemerintah mau seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perppu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tersebut," tambahnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas