Iuran BPJS Kesehatan Naik, Politikus Demokrat Pertanyakan Keberpihakan Pemerintah terhadap Rakyat
Didik Mukrianto mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Partai Demokrat Departemen Hukum dan HAM Didik Mukrianto mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Menurutnya, menaikkan iuran BPJS Kesehatan di saat ini adalah kebijakan yang sangat jauh dari spirit hadirnya negara dalam melindungi segenap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Apalagi, beban penderitaan rakyat bertambah dengan adanya pandemi virus Corona (Covid-19).
"Di mana keberpihakan negara dan pemerintah terhadap rakyatnya? bukankah pemerintah harusnya ikut merasakan derita rakyatnya yang banyak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), kehilangan mata pencaharian, kehilangan penghasilan dan terputus akses kesejahteraannya karena Covid-19," kata Didik, yang ditulis Jumat (15/5/2020).
Didik mengatakan seharusnya pemerintah tidak menambah kesusahan rakyatnya.
"Sebaliknya, harusnya pemerintah mengambil tanggung jawab. Di saat susah, pastikan rakyat tidak boleh susah, kalau terpaksa harus susah, biarlah pemerintah yang merasakannya," ujar Anggota Komisi III DPR RI itu.
Lebih lanjut, dia menilai Perpres tersebut berpotensi melanggar putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Karena itu, ia mendesak pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Melihat kesulitan dan kebutuhan rakyat dan dari aspek hukum, untuk memastikan kebijakan Presiden Jokowi tidak melanggar hukum dan memenuhi asas pengelolaan pemerintahan yang baik, sebaiknya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dicabut kembali atau dibatalkan," ucapnya.
Istana Janji Akan Tingkatkan Kualitas
Di tengah penanganan pandemi virus corona, pemerintah memberikan 'kejutan' dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Keputusan yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu langsung menuai kritik.
Tak sedikit masyarakat yang memprotes kenaikan iuran itu karena merasa kebijakan ini hanya menambah beban di tengah pandemi. Pemerintah juga nilai telah mengabaikan putusan MA yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019.
”Kalau dilarang oleh MA dalam putusannya karena sifat putusannya final dan mengikat, maka tidak boleh dan tidak patut Presiden mengabaikan putusan itu,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.
”Apalagi harus diingat karena sifatnya yang mengikat itu jangan sampai Presiden terpaksa mengakali putusan itu dengan dia ‘ya sudah, sebelumnya sudah dibatalkan, ini yang baru’, jangan begitu,” kata Feri.
Pihak Istana sendiri akhirnya angkat bicara mengenai alasan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah wabah corona.
Plt Deputi II Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan mengatakan, ada sejumlah pertimbangan diterbitkannya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya menaikan tarif iuran BPJS untuk kelas I dan II.
Alasan pertama, yakni agar tidak terjadi kekosongan hukum setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 oleh Mahkamah Agung.
"Pertama itu, karena sudah dicabut pasal itu oleh MA, kan tidak mungkin ada kekosongan hukum," katanya kepada wartawan Kamis (14/5/2020).
Namun demikian, kata Abetnego, MA tidak memutuskan bahwa iuaran BPJS dikembalikan ke awal saat membatalkan Perpres 75/2019.
"Bukan pasalnya yang dibatalkan. Harus diingat, MA bukan lembaga penentu tarif. Kemudian MA pasti tidak akan berupaya untuk melampaui kewenangannya dalam hal teknis jadi yang dibatalkan terkait dengan dilakukan penyesuaian," katanya.
Pertimbangan kedua, menurut dia, karena kondisi keuangan internal BPJS yang kian terpuruk. Sehingga upaya kenaikan iuran dinilai sebagai bentuk keberlanjutan. Dalam hal ini, jumlah kenaikan pun sudah dikoordinasikan bersama Kementerian Keuangan.
"Itu yang diinformasikan ke kami itu memang dengan angka segitu itu yang memang punya prospek sustainability, keberlanjutan soal iuran pengelolaan BPJS itu," kata Abetnego kepada wartawan, Kamis (14/5).
Selain itu, saat ini BPJS Kesehatan juga tengah fokus pada perbaikan layanan yang memang kerap dikeluhkan masyarakat. Sebenarnya dalam rencana kenaikan iuran sebelumnya juga menjadi alasan hal itu diusulkan. Namun karena sudah dianulir MA maka mereka melanjutkannya pada perpres 64 Tahun 2020.
"Kenaikan itu kan sebenarnya mempertimbangkan aspek itu (pelayanan), jadi ada yang memang di dalam penyesuaian itu juga ada tanggung jawab untuk memperbaiki layanan misalnya informasi rumah sakit pada waktu itu, kemudian digugat," jelasnya.
Di sisi lain, kata dia, kenaikan iuran juga sebagai bentuk penyempurnaan sistem dalam BPJS Kesehatan dibandingkan dengan yang sebelumnya. Dengan kenaikan ini, diharapkan tak ada lagi keributan yang terjadi di masyarakat khususnya soal deficit BPJS Kesehatan.
"Saya harus ngecek lagi ada 10 langkah yang dilakukan akan terus diperbaiki dalam pelayanan kecepatan di dalam BPJS kita ini, jadi memang latar belakangnya di situ. Jangan sampai kita mempertahankan yang lama tapi terus ada keributan defisit," pungkasnya.
Dengan kenaikan iuran ini, Abetnego memastikan pelayanan BPJS Kesehatan juga akan diperbaiki. "Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini, yang menjadi penting itu perlu dimonitor oleh masyarakat setelah ini dijalankan hal-hal buruk apalagi yang masih terjadi," ujar Abetnego.
"Ini yang mungkin bisa nanti diintervensi kementerian lembaga terkait dalam pengelolaannya," imbuhnya.
Janji perbaikan pelayanan ini juga diungkapkan Deputi Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang juga Ketua DJSN, Tubagus Achmad Choesni. Ia menjanjikan perbaikan pengelolaan BPJS.
Menurutnya, perbaikan ini bertujuan untuk menciptakan sistem kesehatan yang universitas bagi masyarakat.
"Kita akan melakukan perbaikan dan pengelolaan yang secara menyeluruh dan sistemik. Pemerintah juga menginginkan kita mencapai universal health coverage agar seluruh rakyat Indonesia memiliki akses yang berkualitas," ucap Choesni.
Choesni mengatakan, perbaikan tersebut bukan hanya menyentuh aspek kuantitas peserta, namun juga kualitas layanan kesehatan.
"Jadi bukan hanya kuantitas, persentase tertentu 95 persen. Tapi yang pasti aksesnya juga berkualitas terhadap pelayanan kesehatan," tutur Choesni.
Choesni mengatakan dalam menaikkan besaran iuran layanan BPJS Kesehatan itu pemerintah telah melibatkan ahli independen.
"Penyesuaian iuran kalau diperlukan, tapi yang pasti kita harus berdasarkan berbagai pertimbangan dari para ahli yang independen dan tentu saja kompeten. Misalnya para aktuaria dan lainnya," ujar Choesni.
Selain itu, pemerintah juga telah melihat kemampuan peserta BPJS Kesehatan dalam mempertimbangkan kenaikan iuran.
"Tidak kalah pentingnya dalam menetapkan iuran peserta, kita juga pasti melihat kemampuan peserta dalam membayar iuran," ucap Choesni.
Komunitas Pasien Cuci Darah Siap Gugat Kembali ke Mahkamah Agung
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menyusul Presiden Joko Widodo kembali menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Di aturan ini, pemerintah memutuskan menaikkan iuran untuk kelas I dan II, sementara iuran kelas III akan naik pada 2021.
"KPCDI akan berencana mengajukan uji materi ke MA kembali atas Perpres tersebut. Dan saat ini KPCDI sedang berdiskusi dengan Tim Pengacara dan menyusun materi gugatan," kata Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir, saat dihubungi, Rabu (13/5).
Pemerintah melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan per tanggal 1 Juli 2020.
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Padahal, Mahkamah Agung melalui putusan perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, telah membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020
Menurut Tony, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia menyayangkan sikap pemerintah yang telah menerbitkan peraturan tersebut di tengah situasi krisis wabah virus corona di Indonesia.
Walaupun ada perubahan jumlah angka kenaikkan, kata dia, perubahan itu masih dirasa memberatkan masyarakat apalagi ditengah kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini.
"KPCDI menilai hal itu sebagai cara pemerintah untuk mengakali keputusan MA tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal KPCDI, Petrus Hariyanto menambahkan, pemerintah seharusnya tidak menaikkan iuran pada segmen kelas III, untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat.
"Walaupun nyatanya iuran untuk kelas III untuk tahun ini sebesar Rp 25.500 per orang per bulan dibayar oleh peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta BP, tetapi untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp. 35.000," tambahnya.
Menanggapi kebijakan pemerintah tersebut, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan mengatakan, kenaikan iuran BPJS merupakan kewenangan pemerintah.
Dia menjelaskan, jika benar Presiden telah menerbitkan Perpres baru yang menaikkan iuran BPJS, maka sudah dipertimbangkan dengan seksama.
"Mahkamah Agung (MA) tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," kata Andi Samsan, saat dihubungi, Rabu (13/5).
Menurut dia, MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang.
"Dan itupun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA," tambahnya.
Sebelumnya, MA menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Permohonan uji materi itu diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI).
Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, Kamis 27 Februari 2020 di[utus MA yang dipimpin ketua majelis yaitu Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.
Pada putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi putusan tersebut.
Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial.
Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan.
Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
b. Sebesar Rp 51.000 untuk kelas 2
c. Sebesar Rp 80.000 untuk kelas 1
Majelis hakim mempertimbangkan hak asasi manusia KCPDI pada saat memutuskan membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
Pemerintah harus mewujudkan pemberian jaminan kesehatan, karena kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Sebagai upaya melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
DPR: Jangan Bebani Rakyat
Kepala Bakomstra DPP Partai Demokrat, Ossy Dermawan mengatakan, Demokrat berharap pemerintah tidak membebani rakyatnya di kala kondisi perekonomian yang sulit seperti ini.
"Demokrat berpandangan bahwa jika harus ada yang susah antara negara dan rakyat, maka sebaiknya cukup negara yang susah dan bukannya rakyat," ujar Ossy dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Menurutnya, kenaikan iuran BPJS di saat rakyat sedang menghadapi permasalahan kesehatan dan masalah ekonomi, menandakan pemerintah kurang sensitif terhadap permasalahan yang sedang dihadapi rakyat.
"Kami paham bahwa dampak dari permasalahan Covid-19 ini tak lagi hanya menyerang kaum miskin namun juga telah merambah perekonomian kaum menengah," papar Ossy.
Ossy melihat keputusan kenaikan iuran BPJS ini, memperlihatkan ruang fiskal negara sangat sempit pada saat ini.
Oleh sebab itu, Ossy menyarankan pemerintah melakukan realokasi anggaran secara tepat, mana anggaran yang perlu ditunda dan mana anggaran yang menjadi prioritas.
"Dengan prinsip seperti ini maka kami yakin pemerintah akan mendapatkan pilihan kebijakan yang tepat, bijak dan rasional," ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menyesalkan keputusan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 64/2020.
Dia mengungkap pemerintah terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Perpres 75/2019 terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Saya sangat menyesalkan keluarnya Perpres 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasalnya, di dalam perpres itu, pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan," ujar Saleh, ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (13/5).
Padahal, menurut Saleh, banyak warga masyarakat yang berharap agar putusan MA itu dapat dilaksanakan. Sehingga iuran BPJS Kesehatan tidak jadi dinaikkan.
"Sejak awal, saya menduga pemerintah akan berselancar. Putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan aturan baru. Mengeluarkan perpres baru tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA," kata dia.
Saleh juga menilai pemerintah sengaja menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020.
Dengan begitu, ada masa dimana pemerintah melaksanakan putusan MA yakni mengembalikan besaran iuran seperti jumlah sebelumnya yaitu Kelas I sebesar Rp 80.000, Kelas II sebesar Rp 51.000, dan Kelas III sebesar Rp 25.500.
Namun masa dimana pemerintah mematuhi putusan MA itu hanyalah tiga bulan, tepatnya di bulan April, Mei, dan Juni 2020. Nyatanya setelah itu, iuran kembali dinaikkan lagi.
"Dan uniknya lagi, iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021. Pemerintah kelihatannya ingin membawa pesan bahwa mereka peduli masyarakat menengah ke bawah," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra FX Arief Poeyono mempertanyakan siapa orang yang mengusulkan Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Menurutnya, dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, citra Jokowi di mata rakyat hancur.
Arief Poeyono menduga, orang yang mengusulkan kenaikkan iuran BPJS Kesehatan kepada Jokowi berniat membuat rakyat sebal dengan Jokowi. Khususnya karena rakyat Indonesia saat ini sedang menderita akibat pandemi Covid-19.
"Siapa lagi ini yang mengusulkan? Mau ngancurin Jokowi dengan minta Jokowi mengeluarkan Perpres kenaikkan iuran BPJS Kesehatan? Makin sebel saja rakyat sama Jokowi. Sudah susah karena Covid-19 sekarang malah mau peras Jokowi," kata Arief Poeyono.
Arief menjelaskan, keadaan ekonomi keluarga kelas menengah dan bawah saat ini sudah ambruk. Masyarakat yang bekerja di sektor formal banyak yang kena PHK. Usaha kecil menengah pun sudah banyak yang tutup.
"Di mana pengusahanya saja sudah banyak yang engga mampu bayar angsuran bank alias macet sudah 5 bulan. Ini kok malah BPJS Kesehatan iurannya dinaikkan? Sungguh tidak melihat realitas keadaan ekonomi dan sosialnya masyarakat," sambung Arief Poeyono.
Arief Poeyono pun berpesan kepada orang-orang di sekeliling Jokowi agar lebih bijak menyikapi Perpres Kenaikkan Iuran BPJS kesehatan.
"Cobalah orang-orang yang mengusulkan kepada Jokowi itu lebih bijak, karena Perpres kenaikan Iuran BPJS Kesehatan bikin rakyat makin sebel dan nyumpahin Jokowi. Apalagi tidak ada kepastian apakah pemerintah sanggup menciptakan perdamaian di tengah pandemi ini," ungkap Arief berpesan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar menilai pemerintah sedang memberikan contoh buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari keputusan pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, padahal sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
"Pemerintah tidak memberikan contoh atau tauladan yang baik dalam penegakan hukum," tutur Wakil Ketua Komisi IX DPR, Ansory Siregar kepada wartawan, Jakarta, Rabu (13/5).
Ansory menilai pemerintah tidak peka dengan situasi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi karena dilanda pandemi virus Covid-19. Ia pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mencabut keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, apalagi tidak terlebih dahulu berkonsultasi dengan Komisi IX DPR.
"Saya mengusulkan supaya Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dicabut," paparnya.
BPJS Watch: Kinerja Direksi Perlu Dievaluasi
Sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri pada tahun 2021.
Keputusan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dipertanyakan
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyebutkan, saat ini bukan langkah yang tepat untuk menaikkan BPJS Kesehatan.
"Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini," kata Timboel saat dihubungi Tribun, Rabu (13/5/2020).
Timboel memandang Presiden perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh termasuk kinerja direksi BUMN peyelenggara jaminan sosial kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut.
Kenaikan iuaran yang sebelumnya sempat dibatalkan Mahkamah Agung kini dinaikan lagi melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Seharusnya pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," terangnya.
Menurut Timboel, pelayanan BPJS di era Covid 19 ini malah cenderung menurun.
Dia mencontohkan seorang pasien Jaminan Kesehatan Nasional ketika harus dirawat inap harus melakukan test covid19, dan pasien diminta bayar Rp 750 ribu untuk test Covid19 tersebut.
Memberatkan Masyarakat
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang keputusan itu memberatkan masyarakat saat kondisi sekarang ada pandemi Covid-19.
Menurutnya, pengusaha sebelumnya juga sudah mengajukan relaksasi untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk karyawan, sehingga tidak makin memberatkan perusahaan.
"Sehingga memang dalam kondisi seperti ini perusahaan saja merasa sangat keberatan. Apalagi masyarakat umum gitu," ujarnya saat teleconference di Jakarta, Rabu (13/5).
Hariyadi menambahkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu mengkhawatirkan karena masyarakat terancam tidak memiliki jaminan layanan kesehatan.
"Memang dinaikkan itu yang kita khawatirkan, khususnya adalah untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah. Artinya, mereka tidak bisa mendapatkan akses untuk manfaat pelayanan kesehatan, ini juga cukup serius," katanya.
Baca: Anggota DPR: RUU Minerba Untungkan Pemerintah Daerah
Baca: Pemerintah Naikkan Lagi Iuran BPJS, Ini Reaksi DPR, Masyarakat, hingga Mahkamah Agung
Baca: Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi, Ahli: Lebih Baik Perbaiki Data, Agar Tepat Sasaran
Menjalankan Putusan Mahkamah Agung
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan diterbitkannya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan Mahkamah Agung.
“Perlu diketahui juga, Perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI, khususnya dari para Anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III,” jelas Iqbal, Rabu (13/5/2020).
Rincian
M. Iqbal Anas Ma’rufmenerangkan, besaran iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk bulan Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, Rp 42.000 untuk kelas III.
Sementara untuk bulan April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III.
“Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III,” tutur Iqbal.
Iqbal menjelaskan, sebagai wujud perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap kondisi finansial masyarakat, lanjut Iqbal, pemerintah menetapkan kebijakan khusus untuk peserta PBPU dan BP kelas III.
Tahun 2020, iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp 25.500. Sisanya sebesar Rp 16.500, diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.
“Kemudian, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000,” tambahnya.
Iqbal juga mengatakan, sebagai upaya mendukung tanggap Covid-19, pada tahun 2020 peserta JKN- KIS yang menunggak dapat mengaktifkan kepesertaannya kembali dengan hanya melunasi tunggakan iuran selama paling banyak 6 bulan.
“Sisa tunggakan, apabila masih ada, akan diberi kelonggaran pelunasan sampai dengan tahun 2021, agar status kepesertaaannya tetap aktif. Untuk tahun 2021 dan tahun selanjutnya, pengaktifan kepesertaan harus melunasi seluruh tunggakan sekaligus,” ujarnya.
Enggan Berkomentar
Mahkamah Agung sendiri enggan mengomentari Perpres yang baru dikeluarkan Jokowi ini.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengatakan, penaikan iuran BPJS merupakan kewenangan pemerintah.
"Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," kata Andi saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Perlu Keberlanjutan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan iuran BPJS bertujuan untuk menjaga keberlanjutan BPJS kesehatan itu sendiri.
Menurutnya, iuran BPJS tersebut ada yang disubsidi pemerintah, dan ada yang tidak.
Untuk iuran BPJS yang tidak disubsidi, pemerintah berharap bisa menjalankan keberlanjutan operasional BPJS
"Kemudian yang terkait dengan BPJS sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan nah tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," kata Airlangga dalam video conference, Rabu, (13/5).
Airlangga menjelaskan, BPJS Kesehatan selalu ada dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disubsidi dan ada yang membayar iuran, dipotong untuk iuran, tetapi terhadap keseluruhan operasionalisasi BPJS dirasakan diperlukan subsidi pemerintah.
Tertimpa Tangga
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon, memberikan kritik atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Fadli, keputusan menaikkan iuran BPJS setelah sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) adalah keputusan yang absurd.
Mantan Wakil Ketua DPR ini mengibaratkan masyarakat yang mendapat kenaikan iuran BPJS di tengah wabah Corona sebagai orang yang sudah jatuh lalu tertimpa tangga dan kemudian terlindas mobil.
Fadli pun meminta agar Jokowi membatalkan keputusan tersebut.
Hal itu disampaikan Fadli Zon melalui postingan di akun Twitternya, @fadlizon, Kamis (14/5/2020);
"P @jokowi, kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi n stlh ada keputusan MA menurunkannya, benar2 absurd. Rakyat sdh jatuh tertimpa tangga lalu spt dilindas mobil. Selain bertentangan dg akal sehat, resep ini makin miskinkan rakyat. Kesengsaraan rakyat tambah meroket. Batalkanlah!" tulisnya.
Tanggapan Ahli Hukum UNS
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto, menyebut kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan merupakan anomali atau ketidaknormalan.
Pasalnya, saat ini pemerintah merealokasi anggaran negara besar-besaran untuk membantu masyarakat miskin yang terdampak wabah.
Ia menganggap kenaikan iuran BPJS di tengah bencana tidaklah tepat.
"Menurut saya kurang tepat, karena posisi kita sedang dalam masa pandemi Covid-19."
"Sangat anomali dengan kebijakannya sendiri yang merealokasi APBN dalam rangka membantu masyarakat miskin," ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Agus menuturkan, kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang tidak konsisten.
Di satu sisi, masyarakat yang terdampak corona terbantu dengan pemberian bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu atau bantuan sembako.
Namun, dalam kebijakan terbarunya ini, masyarakat juga harus membayar kenaikan iuran BPJS.
"Di satu sisi merealokasi APBN untuk masyarakat miskin yang terkena dampak corona, di sisi lain dinaikkan iuran BPJSnya."
"Ini tidak konsisten antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain," tutur Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Dibanding menaikkan iuran, Agus menjelaskan, seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan dalam struktur BPJS Kesehatan.
Misalnya data kepesertaan BPJS Kesehatan yang masih perlu dibenahi.
Agus menuturkan hal ini perlu dilakukan agar anggaran BPJS Kesehatan tepat sasaran.
"Selama ini data tentang kepesertaannya ini nggak jelas, antara peserta mandiri yang ditanggung oleh perusahaan swasta atau pun pemerintah," jelasnya.
(Tribunnews.com/Daryono/Inza Maliana)