Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Politikus PAN Jelaskan Empat Alasan Kenaikan Iuran BPJS Harus Dibatalkan

Pertama, perpres itu dinilai tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Politikus PAN Jelaskan Empat Alasan Kenaikan Iuran BPJS Harus Dibatalkan
Chaerul Umam
Wasekjen PAN Saleh Partaonan Daulay 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mendesak pemerintah untuk membatalkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Menurutnya, ada empat alasan fundamental mengapa perpres itu perlu dibatalkan.

Pertama, perpres itu dinilai tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR.

Padahal, DPR telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di komisi IX dan rapat-rapat gabungan komisi IX bersama pimpinan DPR.

"Waktu itu, kita merasakan belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah.

Kan aneh sekali, justru pada saat pandemi covid-19 ini pemerintah malah menaikkan iuran.

Berita Rekomendasi

Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat dimana-mana sedang kesusahan," kata Saleh kepada wartawan, Jumat (15/5/2020).

Kedua, pemerintah dapat dinilai tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

Baca: Cerita Arief Mughni, Mahasiswa Indonesia Berpuasa di Mesir Saat Pandemi Covid-19

Baca: Fakta Kerumunan Antrean di Bandara Soekarno Hatta, Instruksi Tak Jelas, Ini Kata Calon Penumpang

Baca: Poltracking Sumbangkan 20.000 Paket Bansos dan 150.000 Paket Makan Gratis

Hal itu bisa jadi menimbulkan anggapan dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi tentang kenaikan iuran BPJS, pemerintah dianggap menentang putusan peradilan.

Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada Presiden.

"Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada pasal 31 Undang-Undang tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran," ujar Saleh.

"Bagi saya, dengan keluarnya perpres ini sekaligus mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif.

Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi.

Karena itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan," imbuhnya.

Ketiga, dikeluarkannya perpres 64/2020 itu diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Pasalnya, masyarakat banyak sekali yang berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA.

Namun kenyataannya, pemerintah malah kembali menaikkan.

"Perppu 75/2019 dibatalkan kan atas dasar keberatan dan judicial review yang dilakukan masyarakat.

Jika nanti perppu 64/2020 digugat lagi ke MA, lalu MA konsisten dengan putusan sebelumnya yang menolak kenaikan iuran, ini tentu akan menjadi preseden tidak baik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dipastikan akan turun," kata Saleh.

Keempat, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam perpres 64/2020 dinilai belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan.

Apalagi, kenaikan iuran ini belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pasca-kenaikan.

Saleh menduga bahwa kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan keuangan BPJS sesaat saja.

"Kalau iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran.

Bisa juga orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri. Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini. Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS," ucapnya.

Saleh menilai sebelum iuran dinaikkan, sebaiknya pemerintah mendesak agar BPJS Kesehatan berbenah.

Menurutnta, ada banyak persoalan yang sangat kompleks yang perlu diperbaiki.

Termasuk masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di fakes-faskes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, stok obat, dan lain-lain.

Ada juga persoalan birokrasi yang kadang-kadang berbelit akibat banyaknya aturan yang dikeluarkan.

Sebelumnya, pemerintah resmi mengumumkan kenaikan besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).

Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang diteken Presiden Rabu (13/5/20) kemarin itu menjelaskan kenaikan iuran berlaku untuk kelas I dan kelas II terlebih dahulu pada 1 Juli 2020.

Sementara iuran kelas III baru akan naik pada tahun 2021 mendatang.

Adapun kenaikan iuran itu untuk peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000 dari saat ini Rp 80.000.

Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000 dari saat ini sebesar Rp 51.000.

Sedangkan iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Untuk peserta mandiri kelas III ini, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas