Kasus Suap Dana Hibah KONI, Eks-Aspri Imam Nahrawi Sebut Nama Achsanul Qosasi dan Adi Toegarisman
Menanggapi kesaksian dari Miftahul Ulum itu, Achsanul Qosasi, mengatakan kasus ini adalah Kasus dana Hibah KONI yang diperiksa BPK pada tahun 2016.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman, disebut di sidang kasus suap pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Miftahul Ulum, mantan asisten pribadi (Aspri) eks-Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, menyebut nama Achsanul Qosasi dan Adi Toegarisman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (15/5/2020).
Ulum mengungkapkan ada aliran dana untuk mengamankan kasus yang menimpa Kemenpora. Achsanul Qosasi disebut menerima uang sekitar Rp 3 Miliar dan Adi Toegarisman menerima Rp 7 Miliar.
Menanggapi kesaksian dari Miftahul Ulum itu, Achsanul Qosasi, mengatakan kasus ini adalah Kasus dana Hibah KONI yang diperiksa BPK pada tahun 2016.
"Pemeriksaan Hibah KONI belum periode saya. Surat Tugas Pemeriksaan bukan dari saya. Saya memeriksa Kemenpora pada tahun 2018 untuk pemeriksaan Laporan Keuangan," kata Achsanul Qosasi pada saat dimintai keterangan, Sabtu (16/5/2020).
Achsanul mengaku tidak mengenal Ulum dan tidak pernah berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Dia mengaku siap bertemu dengan Ulum untuk mengkonformasi ucapan dan tuduhan tersebut.
"Semoga Ulum bisa menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya, jangan melempar tuduhan tanpa dasar dan fakta yang sebenarnya," ujarnya.
Achsanul mendukung proses hukum kasus KONI ini berjalan lancar dan adil, tanpa ada fitnah pada pihak lain.
Sementara itu, Adi Toegarisman belum memberikan keterangan terkait tuduhan tersebut.
Sebelumnya di persidangan pada Jumat kemarin, Ulum mengungkap ada pemberian uang Rp 3 Miliar untuk BPK dan Rp 7 Miliar untuk Kejaksaan Agung.
Dia mengungkapkan itu pada saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Imam Nahrawi.
"BPK untuk inisial AQ yang terima 3 miliar itu, Achsanul Qosasi, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Teogarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," ujar Ulum.
Untuk memenuhi permintaan uang itu, dia mengaku, meminjam sekitar Rp 10 Miliar. Dia mengklaim pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung guna mengatasi kasus yang membelit.
"Yang menyelesaikan dari Kemenpora itu salah satu Asdep Internasional di Kejaksaan Agung yang biasa berhubungan dengan orang kejaksaan itu, lalu ada juga Yusuf atau Yunus, kalau yang ke Kejaksaan Agung juga ada Ferry Kono yang sekarang jadi Sekretaris KOI (Komite Olimpiade Indonesia,-red)," jawab Ulum.
Di persidangan itu, Ulum mengaku menerima uang dari mantan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
"Karena waktu itu kejadiannya Pak Jhony memang memberikan saya ATM, lalu saya akui di persidangan ini, saya berniat untuk berkata jujur," ujarnya.
Untuk diketahui, mantan menteri pemuda dan olah raga (Menpora RI) Imam Nahrawi, didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal KONI Endang Fuad Hamidy.
Imam Nahrawi didakwa bersama-sama dengan Miftahul Ulum meminta uang tersebut untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI pusat kepada Kemenpora pada tahun kegiatan 2018 lalu.
Ketika itu, KONI Pusat mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora RI dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional Pada Multi Event 18th ASIAN Games 2018 dan 3rd ASIAN PARA Games 2018.
Selain itu, proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.
Atas perbuatannya, Imam Nahrawi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, Imam Nahrawi didakwa menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 8,6 Miliar. Pemberian gratifikasi itu didapat dari sejumlah pihak.
Perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12B ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.