BPK RI Bantah Adanya Dugaan Diskriminasi CPNS Penyandang Disabilitas
Terkait permasalahan penerimaan CPNS atas nama saudara Alde Maulana tidak benar ada diskriminasi terkait disabilitas
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK RI Selvia Vivi Devianti membantah adanya dugaan diskriminasi kepada seorang penyandang disabilitas bernama Alde Maulana yang sebelumnya telah dinyatakan lulus menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Barat.
"Terkait permasalahan penerimaan CPNS atas nama saudara Alde Maulana tidak benar ada diskriminasi terkait disabilitas," ujar Vivi, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (25/5/2020).
Dia mengungkap dalam proses penerimaan CPNS tahun 2018, BPK RI memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas dengan membuka 11 Formasi Disabilitas untuk mengisi pemeriksa yaitu Jabatan Pemeriksa Ahli Pertama.
Dari hasil seleksi CPNS tersebut, BPK menerima 11 orang CPNS Formasi Disabilitas, salah satu diantaranya adalah Alde Maulana.
Setelah lulus ujian penerimaan sebagai CPNS, untuk diangkat sebagai PNS harus menjalani masa percobaan selama 1 tahun dan harus memenuhi serangkaian persyaratan, diantaranya adalah lulus diklat dasar dan lulus uji kesehatan.
Baca: Abaikan PSBB, Penguburan di Pondok Rangon Dihadiri Banyak Orang
"Saudara Alde sudah mengikuti diklat dasar, lalu dilanjutkan dengan diklat fungsional pemeriksa ahli pertama. Artinya seluruh peserta CPNS mengikuti diklat yang sama, baik peserta CPNS disabilitas maupun non-disabilitas," jelasnya.
Vivi mengungkap diklat yang diikuti oleh para CPNS untuk Jabatan Pemeriksa Muda antara lain meliputi Diklat Dasar yang merupakan persyaratan pengangkatan menjadi PNS, serta Diklat Jabatan Fungsional Pemeriksa Ahli Pertama yang merupakan persyaratan pengangkatan pada Jabatan Fungsional Pemeriksa Ahli Pertama.
Baca: Bantah Dipukuli Hingga Bonyok, Habib Bahar Mengakui Diperlakukan Baik di Lapas Nusakambangan
Dia menekankan selama kegiatan diklat dasar dan diklat fungsional pemeriksa selalu ada kegiatan apel pagi dan sore berupa briefing singkat. Namun untuk peserta karena apel ini dilaksanakan di ruang terbuka maka diberikan dispensasi jika disertai dengan alasan yang benar, umumnya alasan kesehatan.
Untuk peserta disabilitas, kata dia, dispensasi ini bersifat lebih tetap artinya dengan melihat kondisi fisik. Biasanya pembina/pelatih apel akan mempersilahkan peserta disabilitas untuk duduk saja tidak ikut posisi berdiri saat apel, bahkan untuk kegiatan olahraga, peserta disabilitas dilarang ikut kecuali peserta yang bersangkutan mau dan mampu ikut berolahraga.
"Bahkan untuk peserta jika sakit maka tidak diperbolehkan ikut berolahraga. Artinya BPK dalam proses penerimaan CPNS memperhatikan kondisi fisik dari para peserta serta dengan memperhatikan ketentuan yang diatur untuk peserta disabilitas Saudara Alde," imbuhnya.
Vivi mengatakan Alde ternyata mengalami sakit berupa kejang-kejang saat melaksanakan diklat Jabatan Fungsional Pemeriksa Ahli Pertama di Balai Diklat Medan. Yang bersangkutan kemudian dispensasi.
Baca: Doni Monardo Pastikan Menu Makan Pasien RS Darurat Wisma Atlet Berkualitas Guna Tingkatkan Imunitas
"Kemudian sebagai salah satu syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS adalah tes kesehatan dan yang bersangkutan dilakukan tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto. Hasil tes kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat dan kemudian dilakukan MRI serta MRA. Sehingga disimpulkan yang bersangkutan tidak dapat melakukan aktivitas berat. BPK sudah berkonsultasi juga ke BKN terkait hal ini," jelas Vivi.
"Pada prinsipnya BPK dalam setiap penerimaan CPNS selalu memperhatikan ketentuan yang berlaku bagi peserta disabilitas dan non disabilitas serta dalam pelaksanaannya proses pelaksanaan penerimaan CPNS di BPK ataupun proses CPNS diangkat menjadi PNS selalu dilakukan monitoring dan review berjenjang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal ini Sekjen untuk memastikan seluruh proses terlaksana dengan baik dan sesuai ketentuan," tandasnya.
Baca: Ternyata Ada Cara Mudah dan Cerdas Mencuci Piring dari Lemak dan Noda Setelah Lebaran!
Sebelumnya diberitakan, Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra menyoroti adanya kasus dugaan diskriminasi kepada Alde Maulana.
Alde adalah laki-laki penyandang disabilitas yang sebelumnya telah dinyatakan lulus menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Barat.
"Alde Maulana diduga menjadi korban diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam pengabaian hak atas pekerjaan yang diduga dilakukan oleh BPK RI," kata Wendra, dalam keterangan tertulis yang sudah dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (25/5/2020).
Baca: Tes Kepribadian: Bulu yang Kamu Pilih Bisa Ungkap Kekuatan Tersembunyimu Selama Ini
Diceritakan awalnya Alde sebagai korban mengikuti seleksi CPNS BPK RI melalui formasi disabilitas dan dinyatakan lulus menjadi CPNS BPK RI pada 24 Januari 2019.
Berdasarkan Surat Keterangan Disabilitas, korban merupakan penyandang disabilitas dengan raga lapang pandang kedua mata sebelah kiri buta 50 persen, lumpuh layu atau kaku tangan dan kaki sebelah kiri.
Korban dapat melakukan aktivitas keseharian yang bisa dilakukan seperti berdiri, makan dan minum, mandi dan mencuci.
Kemudian, Wendra mengungkap koban diwajibkan mengikuti Diklat Orientasi Ke-BPK-an di Medan pada bulan Maret 2019. Dimana korban mengalami sakit berupa kejang-kejang sehingga tidak mengikuti kegiatan selama dua hari.
"Hal ini dikarenakan aktivitas fisik berlebihan bagi korban berupa apel pagi dan apel sore, tanpa adanya dispensasi bagi korban yang merupakan penyandang disabilitas," kata dia.
Baca: Menlu China: AS Berhentilah Karang Kebohongan Tentang China
Pasca selesainya Diklat Orientasi, korban kembali melanjutkan pekerjaannya di BPK Sumbar dan diminta oleh tim BPK Pusat untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Gatot Soebroto Jakarta.
Berlanjut pada 24 Februari 2020, BPK Perwakilan Sumatera Barat melaksanakan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji PNS Golongan III di Auditorium Lantai 4 Gedung A BPK Perwakilan Provinsi Sumatra Barat.
"Namun korban tidak memperoleh undangan pelantikan dan pengambilan sumpah atau janji PNS. Saat itu, BPK perwakilan Sumatera Barat menyampaikan bahwa orang BPK RI akan datang menjelaskan soal status korban," jelas dia.
"Pada 9 Maret 2020 dikantor BPK Perwakilan Sumbar, korban menerima secara langsung Salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 bahwa pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Pemberhentian dikarenakan korban dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani," kata Wendra lagi.
Atas kejadian itu, LBH Padang menilai tindakan BPK RI dan BPK Perwakilan Sumbar tergolong pada tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terhadap hak atas pekerjaan.
Wendra merujuk Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi 'setiap orang dilarang menghalangi-halangi dan/ atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak atas pekerjaan'.
"Bahkan terdapat ancaman pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi dan atau melarang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya," kata dia.
Selain itu, tindakan tim BPK tak memberikan dispensasi bagi korban saat dilaksanakannya diklat orientasi tergolong pada tindakan diskriminasi.
Dalam pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, kata dia, berasaskan pada perlakuan khusus dan perlindungan lebih sebagaimana dijamin dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
"Oleh karenanya LBH Padang mendesak BPK Republik Indonesia untuk memulihkan hak korban dengan mengangkat dan melantik korban sebagai PNS di BPK Sumatera Barat," katanya.
"Dan mendesak Komnas HAM RI dan Ombudsman RI mendorong proses penyelesaian konflik di luar pengadilan agar hak-hak korban sesegera mungkin untuk dipulihkan menjadi abdi negara," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.