Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

LBH Padang Soroti Dugaan Diskriminasi Kepada CPNS BPK Penyandang Disabilitas

Alde adalah laki-laki penyandang disabilitas yang sebelumnya telah dinyatakan lulus menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Badan Pemeriksa

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in LBH Padang Soroti Dugaan Diskriminasi Kepada CPNS BPK Penyandang Disabilitas
Tribunnews.com
Peserta bersiap untuk mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) berbasis Computer Assisted Test (CAT) untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (17/2/2020). Badan Kepegawaian Daerah atau BKD DKI Jakarta mencatat pelamar CPNS DKI Jakarta pada 2019 sebanyak 50.528 pelamar, peserta yang lolos administrasi dan lolos tes SKD untuk mengisi 3.390 formasi CPNS yang disediakan Pemprov DKI Jakarta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra menyoroti adanya kasus dugaan diskriminasi kepada Alde Maulana.

Alde adalah laki-laki penyandang disabilitas yang sebelumnya telah dinyatakan lulus menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Barat.

"Alde Maulana diduga menjadi korban diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam pengabaian hak atas pekerjaan yang diduga dilakukan oleh BPK RI," kata Wendra, dalam keterangan tertulis yang sudah dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (25/5/2020).

Diceritakan awalnya Alde sebagai korban mengikuti seleksi CPNS BPK RI melalui formasi disabilitas dan dinyatakan lulus menjadi CPNS BPK RI pada 24 Januari 2019.

Berdasarkan Surat Keterangan Disabilitas, korban merupakan penyandang disabilitas dengan raga lapang pandang kedua mata sebelah kiri buta 50 persen, lumpuh layu atau kaku tangan dan kaki sebelah kiri.

Baca: Jubir Covid-19 Minta Masyarakat Jangan Kembali ke Jakarta Dulu, Ini Alasannya

Korban dapat melakukan aktivitas keseharian yang bisa dilakukan seperti berdiri, makan dan minum, mandi dan mencuci.

Kemudian, Wendra mengungkap koban diwajibkan mengikuti Diklat Orientasi Ke-BPK-an di Medan pada bulan Maret 2019.

Berita Rekomendasi

Dimana korban mengalami sakit berupa kejang-kejang sehingga tidak mengikuti kegiatan selama dua hari.

Baca: Penyebab Kakak Tewas di Tangan Ayah dan Adiknya, Uang hingga Ayam Sering Hilang

"Hal ini dikarenakan aktivitas fisik berlebihan bagi korban berupa apel pagi dan apel sore, tanpa adanya dispensasi bagi korban yang merupakan penyandang disabilitas," kata dia.

Pasca selesainya Diklat Orientasi, korban kembali melanjutkan pekerjaannya di BPK Sumbar dan diminta oleh tim BPK Pusat untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Gatot Soebroto Jakarta.

Berlanjut pada 24 Februari 2020, BPK Perwakilan Sumatera Barat melaksanakan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji PNS Golongan III di Auditorium Lantai 4 Gedung A BPK Perwakilan Provinsi Sumatra Barat.

Baca: Wakil Ketua Komisi X DPR: Pemuda Harus Jadi Motor Perubahan di Tengah Pandemi

"Namun korban tidak memperoleh undangan pelantikan dan pengambilan sumpah atau janji PNS. Saat itu, BPK perwakilan Sumatera Barat menyampaikan bahwa orang BPK RI akan datang menjelaskan soal status korban," jelas dia.

"Pada 9 Maret 2020 dikantor BPK Perwakilan Sumbar, korban menerima secara langsung Salinan Surat Keputusan Nomor:73/K/X-X.3/03/2020 bahwa pemberhentian dengan hormat sebagai calon pegawai negeri sipil. Pemberhentian dikarenakan korban dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani," kata Wendra lagi.

Atas kejadian itu, LBH Padang menilai tindakan BPK RI dan BPK Perwakilan Sumbar tergolong pada tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas terhadap hak atas pekerjaan.

Wendra merujuk Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi 'setiap orang dilarang menghalangi-halangi dan/ atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak atas pekerjaan'.

"Bahkan terdapat ancaman pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi dan atau melarang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya," kata dia.

Selain itu, tindakan tim BPK tak memberikan dispensasi bagi korban saat dilaksanakannya diklat orientasi tergolong pada tindakan diskriminasi.

Dalam pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, kata dia, berasaskan pada perlakuan khusus dan perlindungan lebih sebagaimana dijamin dalam Pasal 2 huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

"Oleh karenanya LBH Padang mendesak BPK Republik Indonesia untuk memulihkan hak korban dengan mengangkat dan melantik korban sebagai PNS di BPK Sumatera Barat," katanya.

"Dan mendesak Komnas HAM RI dan Ombudsman RI mendorong proses penyelesaian konflik di luar pengadilan agar hak-hak korban sesegera mungkin untuk dipulihkan menjadi abdi negara," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas