Letda Pnb Ajeng, Perempuan Pertama Calon Penerbang Tempur
Indonesia akhirnya memiliki calon penerbang pesawat tempur atau perempuan fighter pertama dari TNI Angkatan Udara (AU).
Editor: Sanusi
Menjadi pilot pesawat tempur apakah cita-cita Anda?
Saya tidak pernah menyangka akan menjadi penerbang, terutama fighter pilot. Pada awalnya saya hanya ingin menjadi seorang tentara, karena memang keinginan tersebut saya dapatkan ketika saya duduk di bangku SMA.
Saya pernah diberi kesempatan menjadi anggota paskibraka tingkat nasional 2011 mewakili DKI Jakarta, jadi mulai dari situlah titik awal mula saya menjadi seorang tentara. Selain itu saya lahir dan besar di lingkungan keluarga militer.
Saya sudah banyak melihat dan latar belakang ayah saya adalah seorang militer, sehingga semakin tertarik pada dunia militer. Itu yangh ikut menginspirasi saya dapat mengikuti jejak beliau sebagai seorang tentara.
Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penerbang TNI AU bahkan nantinya menjadi penerbang pesawat tempur? Berapa lama prosesnya dan apa saja tahapannya?
Saya melewati proses awal di sekolah penerbangan TNI AU. Itu saya jalani selama satu setengah tahun. Selama satu setengah tahun tersebut saya juga dilatih, dibina, dan dipersiapkan agar bisa mengawaki alutsista (alat utama sistem pertahanan) milik TNI AU.
Jadi banyak sekali latihan yang saya dapat selama satu setenghah tahun. Saya belajar terbang aerobatik, formasi, terbang navigasi, terbang malam, terbang instrument, dan masih banyak yang lainnya.
Itu semua saya dalami di sekolah penerbangan TNI AU. Tidak hanya skill terbang saja, kami juga dibekali kemampuan akademis.
Selain itu jasmani kita juga harus terjaga ketika mengikuti pendidikan tersebut.
Ketika kami dinyatakan lulus dari sekolah penerbang tersebut kami sudah dianggap mampu dan memenuhi syarat dari segi akademis, skill terbang, dan segi jasmani, untuk bisa menjadi penerbang di TNI AU.
Jadi untuk bisa menjadi fighter pilot masih banyak tahapan yang harus saya jalani dan saya akan menjalani tahapan tersebut di Lanud Iswahyudi.
Bagaimana tanggapan keluarga dan orang-orang terdekat Anda?
Ibu saya mengalami dilema. Menurut saya wajar saja seorang ibu merasakan seperti itu. Tetapi saya mampu meyakinkan ibu bahwa saya sudah menjadi tentara artinya saya sudah menjadi abdi negara, apapun yang terjadi pada diri saya dan di manapun saya ditempatkan saya harus siap.
Tentara itu harus profesional, dan saya mencoba untuk profesional di mana pun saya ditempatkan. Sedang ayah saya, karena basic beliau tentara, sehingga lebih iklhas dan mengerti. Lingkungan saya, tentu sangat mendukung dan sangat mengapresiasi apa yang sudah saya capai. (*)