Tin Zurada, Istri Mantan Sekretaris MA Nurhadi Berpeluang Jadi Tersangka
Saat Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono ditangkap pada Senin, 1 Juni 2020, Tin turut diamankan penyidik KPK.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan menetapkan istri mantan Sekertaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Tin Zuraida sebagai tersangka.
Saat Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono ditangkap pada Senin, 1 Juni 2020, Tin turut
diamankan penyidik KPK.
Alasan Tin ikut diboyong ke KPK karena yang bersangkutan kerap kali mangkir dari
pemeriksaan penyidik.
Tin Zuraida dipanggil KPK sebagai saksi pada 11 dan 24 Februari 2020. Tin juga diduga pernah membuang uang Rp 1,7 miliar dalam enam pecahan mata uang ke dalam kloset.
Aksi itu, dilakukan ketika KPK menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, pada 21 April 2016.
Baca: Cerita di Balik Sukses Novel Baswedan, Pimpin Langsung Operasi Penangkapan Buron KPK, Nurhadi
Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, pihaknya tengah mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan Tin. Karena untuk meningkatkan statusnya jadi tersangka memerlukan
penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.
Baca: Terkuak! Trio Mantan Petinggi Jiwasraya Terima Mobil Mewah dan Pelesir ke Luar Negeri
”Yang pasti adalah tindak pidana itu bisa kita naikkan, karena kita harus sajikan di pengadilan, tentu berdasarkan alat bukti yang cukup. Tentu nanti itu akan kita tangani,” kata Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (4/6/2020).
Baca: Bikin Negara Rugi Rp 16,8 Triliun, Dirut Jiwasraya Hendrisman Suka Dipanggil Chief
Firli juga memastikan akan mengembangkan kasus ini apabila dalam perjalanannya
ditemukan bukti-bukti lain.
Salah satunya kemungkinan pengembangan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Nurhadi.
Baca: OJK Warning Pemerintah: Hati-hati Kelola Tapera, Jangan Tergelincir Seperti Skandal Jiwasraya. . .
"Tentu kita tidak akan pernah meniadakan, atau tidak pernah meninggalkan seluruh informasi itu kita tampung termasuk juga nanti kalau memang ada keterangan, ada bukti terkait dengan hal hal lain tindak pidana lain, tentu kita kembangkan," kata Firli.
Baca: Lion Air Group Kembali Berhenti Terbang, Biaya Tes PCR Lebih Mahal dari Tiket Pesawat
"Yang pasti sekarang perkara pokoknya adalah Nurhadi menerima pemberian hadiah
atau janji berupa uang itu. Itu yang pertama."
"Yang kedua kita akan kembangkan apakah itu juga termasuk dengan tindak pidana pencucian uang," sambung dia.
Saat ini tim penyidik tengah mengembangkan informasi yang diterima dan juga
melakukan pemeriksaan terkait pokok perkara.
Baca: Surat PHK Dikirim Tengah Malam, 181 Pilot Kontrak Garuda Indonesia Kehilangan Pekerjaan
Salah satunya yang kini tengah dianalisis adalah mengenai sejumlah aset milik Nurhadi apakah terkait dengan perkara atau tidak.
Termasuk beberapa yang sempat digeledah oleh KPK, salah satunya belasan mobil
mewah dan motor di vila Nurhadi di Gadog, Puncak.
"Kita harus lihat dulu apakah uang yang diterima Pak Nurhadi itu digunakan untuk itu atau tidak," kata dia.
"Jadi kita harus hati-hati betul tidak boleh sembarangan, yang pasti benda yang disita terkait tindak pidana," ujarnya.
Dalam perkara ini, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto
melalui menantunya Rezky Herbiyono.
Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) pada 2010.
Pada awal 2015, Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra untuk
mengurus perkara Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara
PT MIT dan PT KBN.
Putusan tersebut terkait proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut, Rezky menjaminkan delapan lembar
cek dari PT MIT dan tiga lembar cek miliknya untuk mendapatkan uang senilai Rp14
miliar.
Namun, PT MIT kalah sehingga tersangka Hiendra meminta kembali sembilan lembar cek yang pernah diberikan tersebut.
Perkara lainnya terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT. Pada
2015, Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT.
Kemudian, perkara perdata tersebut dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp 33,1 miliar.
Pemberian uang tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar.
Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky. Tujuan pemberian
tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan
saham PT MIT.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama
kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016.
Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
Ketiga tersangka tersebut sempat dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)
alias buron sejak 13 Februari 2020 akibat tiga kali mangkir dari pemeriksaan KPK.
Namun, KPK berhasil menangkap Nurhadi dan Rezky pada Senin (1/6/2020) malam di wilayah Jakarta Selatan. Kini, tinggal Hiendra yamg masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky Herbiyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12
huruf b subsidair Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Kemudian, dijerat juga dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (tribun network/ham/dod)