Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Ciptakan Polarisasi, Peneliti LIPI: Mengapa Harus Diulang ?
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Mochamad Nurhasim menilai polarisasi di masyarakat akan terjadi jika ambang batas presidensial atau presidentia
Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Mochamad Nurhasim menilai polarisasi di masyarakat akan terjadi jika ambang batas presidensial atau presidential threshold 20-25 persen.
Bukan tidak mungkin Pilpres 2019 terulang karena hanya ada dua pasang calon presiden yang bertarung.
"Kita sudah mengalami ini di 2019, kenapa harus diulang?" ujar Nurhasim dalam diskusi virtual bersama Perludem, Minggu (7/6/2020).
Baca: Seperti Presiden, Dimasa Kenormalan Baru Olahraga Bisa Dilakukan Masyarakat
Menurutnya presidential threshold perlu diubah supaya bisa terciptanya tahapan awal capres yang berjumlah menjadi 3 sampai 5 orang.
"Kemungkinan besar dua calon (jika menerapkan 25 persen presidential threshold), tiga calon sudah rumit. Apalagi kalau menggunakan komposisi perolehan suara Pemilu 2019, dan kemungkinan Pilpres akan satu putaran, polarisasi akan tinggi, dan ini akan berulang terus-menerus dalam konteks politik di Indonesia," katanya.
Baca: Pelaku Kasus Gajah Mati Makan Buah Berisi Peledak di India Ditangkap, Ini Pengakuannya Pada Polisi
Pilihan 0 persen pun, dikatakan Nurhasim, tidak mudah karena bisa saja calonnya lebih dari 10 karena setiap partai mengajukan, fragmentasi politiknya tinggi.
"Jadi yang memungkinkan adalah diturunkan jadi 10 untuk suara DPR dan 15 persen untuk suara tingkat nasional agar kemungkinannya bisa ada 4-5 calon," kata Nurhasim.
Baca: Politikus Amerika: Kami Punya Bukti China Sabotase Pengembangan Vaksin Corona
Menurut Nurhasim, syarat ini memang perlu diubah dan tidak terlalu tinggi, karena pemilu di Indonesia menganut sistem mayoritas mutlak atau pemenang harus mengantongi suara 50 persen plus 1.
"Ini memaksakan sistem Pilpres kita menjadi plurality seperti Pemilu 2014-2109. Indonesia tidak menerapkan dalam amandemen UUD untuk pilpresnya itu plurality, karena kita membutuhkan mayoritas mutlak agar presiden itu milik bersama, bukan milik kelompok, sehingga kebijakan-kebijakan dan langkah-angkah yang diambil tidak menimbulkan persoalan," katanya.
"Kalau kemudian plurality terus, problem kepercayaan dan legitimasi yang dianggap kurang dan sebagainya ini akan terus-menerus menjadi persoalan," ujar Nurhasim.