Pilkada di Tengah Pandemi Rawan Korupsi Hingga Makin Masifnya Politik Uang Berbalut Bansos
Oce menjelaskan banyak ruang dalam proses pilkada yang berpotensi menjadi ruang korupsi, seperti pengadaan logistik atau barang dan jasa pilkada
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen FH UGM, Oce Madril memandang proses pesta demokrasi di tengah pandemi corona akan lebih rawan membuka praktek-praktek korupsi.
Hal ini disampaikan Oce Madril dalam sebuah diskusi virtual bertema : Bertaruh Nyawa di Pilkada 2020, Sabtu (13/6/2020).
Oce menjelaskan banyak ruang dalam proses pilkada yang berpotensi menjadi ruang korupsi, seperti pengadaan logistik atau barang dan jasa pilkada.
Menurutnya praktik-praktik tersebut sangat mungkin terjadi karena minimnya pengawasan. Apalagi dalam situasi normal pun, pengawasan terkadang sulit.
Baca: Mahfud Minta Masyarakat Madura Hindari Kebiasaan Normal Lama seperti Berpelukan
"Penyimpangan-penyimpangan di suasana pandemi akan banyak terjadi. Terutama dari sisi anggaran, ini menjadi problem karena berbaur dengan krisis, bansos, dan keadaan darurat," tuturnya.
Oce bahkan meyakini politik uang berbalut bansos pasti makin masif di Pilkada 2020. Senada dengan Oce, pakar hukum Bivitri Susanti juga mengamininya.
"Saya bisa bayangkan potensi korupsinya. Apalagi harus beli alat pengukur suhu. Pungli kecil-kecil begitu pasti ada. Ini harus jadi perhatian penuh," tambahnya.
Untuk diketahui, pemilihan kepala daerah 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia. 270 wilayah ini meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September 2020. Namun karena wabah corona, Pilkada diundur dan rencananya bakal digelar 9 Desember mendatang.
Keputusan mengenai penundaan ini tertuang dalam Perppu No 2 tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Seniin (4/5/2020).