Fenomena Embun Beku Mulai Muncul di Wilayah Dieng, Ahli Cuaca BMKG Beri Penjelasan
Sejumlah foto dan video adanya embun upas atau embun beku di wilayah dataran tinggi Dieng beredar di media sosial. Begini penjelasan Ahli Cuaca BMKG.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah foto dan video adanya embun upas atau embun beku di wilayah dataran tinggi Dieng beredar di media sosial.
Kondisi suhu dingin diketahui menyebabkan terjadinya fenomena embun beku di wilayah dataran tinggi Dieng dalam beberapa waktu belakangan ini
Seperti foto dan video yang diunggah oleh akun Instagram @trisaktidieng_crew16, embun yang berada di tanaman tampak membeku seperti salju.
Kabid Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Miming Saepudin, menyebut fenomena embun beku atau embun upas adalah kejadian normal dan biasa.
"Dalam artian dapat terjadi berulang setiap tahun," ungkap Miming kepada Tribunnews.com melalui keterangan tertulis, Selasa (16/5/2020).
Baca: Jelang New Normal, Jumlah Wisatawan yang Liburan ke Dieng Akan Dibatasi
Miming mengungkapkan beberapa hari terakhir suhu udara di sebagian wilayah Indonesia selatan ekuator, khususnya di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara cukup dingin dan mengalami penurunan signifikan pada malam hari.
"Secara umum, kondisi suhu udara dingin ini dapat terjadi karena pengaruh kondisi dinamika atmosfer regional dan lokal."
"Dalam skala regional (lebih luas) karena adanya aliran massa udara dingin dan kering dari wilayah benua Australia yang menunjukkan aktivitas aliran monsun dingin Australia," jelas Miming.
Secara klimatologis, lanjut Miming, monsun dingin Australia aktif pada periode bulan Juni-Juli-Agustus.
"Yang dikenal juga sebagai periode Musim Kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia terutama di selatan ekuator," ungkapnya.
Baca: 6 Kuliner yang Wajib Dicicipi Saat Liburan ke Dieng, Mulai Tempe Kemul hingga Kopi Pede
Desakan aliran udara kering dan dingin dari Australia ini menyebabkan kondisi udara yang relatif lebih dingin dari musim lainnya.
Kondisi tersebut dapat dirasakan lebih signifikan di wilayah dataran tinggi atau pegunungan dan terutama pada malam hari.
"Faktor lokal lainnya yang berpengaruh cukup signifikan adalah kondisi cuaca cerah tanpa awan dan kelembapan yang rendah," ujar Miming.
Menurutnya, kondisi musim kemarau dengan cuaca cerah dan tutupan awan yang relatif sedikit di sekitar wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara dapat memaksimalkan pancaran panas bumi ke atmosfer pada malam hari.