Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Minta Pembahasan RUU Ideologi Pancasila Ditunda, Pemerintah Sebut TAP MPRS Masih Berlaku

"Jadi pemerintah tidak mengirimkan supres, tidak mengirimkan Surat Presiden untuk pembahasan itu," kata Mahfud

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Minta Pembahasan RUU Ideologi Pancasila Ditunda, Pemerintah Sebut TAP MPRS Masih Berlaku
Istimewa
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, melakukan dialog dan bertemu sejumlah tokoh agama, ormas dan pimpinan Pondok Pesantren di Gedung Pracimasono, komplek Kepatihan Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu(14/7/2020). Dalam kesempatan itu, Mahfud MD menampung berbagai aspirasi sejumlah tokoh, menguatkan komitmen, menjaga keutuhan negara. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menkopolhukam Mahfud MD didampingi Menkumham Yasonna Laoly menegaskan pemerintah memutuskan meminta DPR untuk menunda DPR membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang tengah menjadi polemik di masyarakat.

Terlebih pemerintah juga meminta DPR untuk mendengarkan lebih banyak berdialog dan menyerap
aspirasi masyarakat.

Baca: Ada Virus Covid-19 di Talenan Ikan Seorang Pedagang di Pasar Xinfa

Hal itu diputuskan setelah pemerintah mendengarkan aspirasi dari sejumlah kalangan.

"Jadi pemerintah tidak mengirimkan supres, tidak mengirimkan Surat Presiden untuk pembahasan itu," kata Mahfud dalam video yang dibagikan Tim Humas Kemenko Polhukam, (16/9/2020).

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD didampingi Menkumham Yasonna
Laoly menambahkan, pemerintah akan mengirimkan pemberitahuan secara resmi kepada DPR.

"Ini saya baru bertemu presiden. Jadi menyampaikan ke masyarakat, juga sekaligus ini pemberitahuan
termasuk kepada DPR, tapi tentu resminya ada prosedur," katanya.

Mahfud MD menambahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan TAP MPRS Nomor 25 tahun
1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan paham Marxisme,
Komunisme, dan Leninisme masih berlaku mengikat dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Berita Rekomendasi

"Pemerintah tetap berkomitmen bahwa TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang larangan
Koomunisme, Marxisme, dan Leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang
undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh undang-undang
sekarang ini," kata Mahfud.

Selain itu Mahfud menegaskan terkait dengan rumusan Pancasila pemerintah berpendapat rumusan
Pancasila yang sah adalah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan tercantum pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

"Mengenai rumusan Pancasila, pemerintah berpendapat bahwa rumusan pancasila yang sah itu adalah
rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Itu yang sah," kata Mahfud.

Sebelumnya, Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkapkan terkait dinamika, pro-
kontra yang terjadi dengan pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sikap partainya adalah mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat.

"Musyawarah untuk mufakat adalah praktek demokrasi Pancasila.Dengan demikian terhadap materi
muatan yang terdapat di dalam Pasal 7 RUU HIP terkait ciri pokok Pancasila sebagai Trisila yang
kristalisasinya dalam Ekasila, PDI Perjuangan setuju untuk dihapus," katanya.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menjelaskan RUU yang dimaksud
merupakan inisiatif DPR meski pembahasannya nanti dilakukan bersama-sama pemerintah.

"RUU Haluan Ideologi Pancasila itu kan adalah RUU yang dipersiapkannya itu hak inisiatif DPR.Dalam regulasi
itu memang pembahasannya pemerintah bersama sama dengan DPR," kata Ali.

Draft RUU tersebut menurut Ali dikirimkan DPR kepada pemerintah kurang lebih 9 hari lalu.

Namun hingga kini presiden belum menerbitkan Surpres untuk memulai pembahasan RUU tersebut.

"Tapi kan RUU itu sendiri jadi perdebatan luar biasa akhir akhir ini. Karena itu dari pemerintah sementara menolak
pembahasan RUU itu," katanya.

Ali menyarankan ke DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu sebelum membahas RUU
tersebut.

Baca: 278 Calon Jemaah Minta Pengembalian Setoran, Terbanyak dari Jawa Tengah

Baik itu dengan tokoh atau pakar yang merepresentasikan agama, budaya, etnis, dan lainnya.

"Jadi RUU itu (nantinya)bisa ditetapkan dan dibuat jadi satu keputusan UU itu meskipun ada MK, nggak
elok kalau setiap keputusan itu di judicial review. Itu harapan pemerintah supaya enak kita dalam bahas
sebuah RUU," katanya. (tribun network/fik/git/yud)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas