Negara Terancam Kehilangan PPh Badan Rp 2,6 Triliun, Kebijakan Rokok Murah Layak Dikoreksi
Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chorul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Antikorupsi, Emerson Yuntho mendesak Kementerian Keuangan mencabut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 yang memperbolehkan pabrikan mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga di tingkat konsumen akhir rokok di bawah 85 persen dari harga jual eceran/harga banderol, asalkan dilakukan tidak lebih dari 50 persen wilayah supervisi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Emerson menegaskan, kebijakan ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan.
Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok.
Menurut Emerson, berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 mencapai Rp 2,6 triliun.
“Ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya,” kata Emerson dalam diskusi virtual Indonesia Budget Center, Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Emerson menjelaskan, potensi kehilangan PPh badan diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019.
Baca: Sule Ingin Menjual Semua Mobil Mewahnya karena Tak Punya Pekerjaan Tetap: Berat di Bensin dan Pajak
Baca: Bea Cukai Juanda Gagalkan Pengiriman Ratusan Ribu Rokok Ilegal Via Pos
Baca: Hubungan Dua Korea Makin Panas, Menteri Unifikasi Korea Selatan Mundur
Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp 1,73 triliun.
Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM(sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau), potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp 2,6 triliun.
Selain potensi kehilangan PPh badan, keberadaan diskon rokok (rokok murah) akibat klausul dalam Perdirjen Bea Cukai juga mendorong peningkatan tingkat konsumsi rokok terutama oleh anak dan kemiskinan.
Padahal, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui naskah akademik yang menjadi dasar kebijakan tersebut. Oleh karenanya, muncul persepsi publik bahwa kebijakan diskon rokok merupakan bagian kompromi pemerintah dengan industri rokok.
Emerson juga merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.
Baca: Istana Enggan Komentari Rekomendasi KPK Soal Kartu Pra Kerja Bermasalah
Baca: Ada Pedagang di Pasar Tradisional Positif Covid-19, DPRD DKI Minta Dinkes Gencar Lakukan Swab Test
Baca: Presiden Jokowi Salat Jumat di Masjid Istana Bogor
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal.
Ahmad Tauhid mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.