Anwar Budiman, Sosok Pengacara 'Berkaki' Tiga
Satu kaki berpijak di ranah buruh, satu kaki lain menapak di industri atau perusahaan, dan satu kaki lainnya lagi berdiri tegak di ranah pendidikan.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Dewi Agustina
Sudah lebih dari 20 tahun Anwar berkecimpung menjadi konsultan hukum perusahaan.
Bahkan ia pernah bekerja di perusahaan besar dengan posisi terakhir sebagai General Manager.
Saat menjalankan perannya yang berbeda-beda itu, Anwar berpegang teguh dan menjunjung tinggi profesionalisme.
Saat mengadvokasi buruh, misalnya, Anwar berperan selayaknya aktivis perburuhan yang memperjuangkan nasib buruh yang di Indonesia ini mayoritas belum beruntung.
Ia bersikap dan bertindak dari sudut pandang dan kacamata buruh, supaya ketentuan di dalam Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dipenuhi semua.
"Yang alot biasanya soal upah minimum buruh, di samping hak-hak normatif buruh yang harus dipenuhi pengusaha," kata Anwar.
Namun dalam mengadvokasi buruh, misalnya memperjuangkan kenaikan upah dan hak-hak buruh, tentu diperlukan lobi dan negosiasi.
Nah, di sinilah Anwar juga harus bisa berpikir, bersikap dan bertindak pragmatis yang juga mempertimbangkan kepentingan industri dan pengusaha.
Baca: Kini Namanya Viral Usai Lathi Jadi Trending Topik, Sara Fajira Ternyata Dulu Pernah Diremehkan
Sebab dalam lobi dan negosiasi harus ada "take and give" (menerima dan memberi), tidak bisa semata-mata mengusung idealisme dan kepentingan buruh semata secara sepihak.
Saat menjadi konsultan perusahaan, misalnya di bidang sumber daya manusia, Anwar secara pragmatis harus berpikir dan bertindak dari sudut pandang dan kepentingan pengusaha, meskipun ia tak bisa sepenuhnya meninggalkan dan menanggalkan kepentingan buruh.
Di sinilah Anwar harus berperan sebagai pencipta harmoni, serta menjadi titik temu atas kepentingan pengusaha dan kepentingan buruh yang terkadang saling berlawanan.
Terkait posisi buruh dan pengusaha ke depan, Anwar menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru-baru ini sempat mengundang polemik dan kontroversi.
Ia ambil dua hal dari Omnibus Law Cipta Kerja yang patut diduga bermasalah, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kata Anwar, PKWT hanya dapat ditujukan pada pekerjaan tertentu saja, seperti pekerjaan yang sifatnya sementara, pekerjaan yang sifatnya musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, dan juga diatur dengan waktu tidak lebih dari 3 tahun atau seburuk-buruknya maksimal 5 tahun lamanya.
"Namun apa yang terjadi di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja? Ternyata pasal terebut dihapus, yang berarti memberikan keleluasaan kepada pengusaha/pemberi kerja untuk mempekerjakan pekerjanya dengan PKWT bahkan dengan lamanya waktu sesuai kehendak pemberi kerja," jelasnya.