KPK Yakin Hakim Tak akan Berikan Justice Collaborator ke Imam Nahrawi
"Adapun mengenai permohonan JC, KPK meyakini mejelis hakim tidak akan mengabulkan permohonan terdakwa," ujarnya
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini majelis hakim tak akan memberikan status sebagai justice collaborator (JC) kepada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.
"Adapun mengenai permohonan JC, KPK meyakini mejelis hakim tidak akan mengabulkan permohonan terdakwa," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada Tribunnews.com, Sabtu (20/6/2020).
Baca: Dituntut 10 Tahun Penjara, Imam Nahwari Seret Nama Taufik Hidayat: Dia juga Tersangka Perantara Suap
Kemudian terkait Imam Nahrawi yang minta tak dicabut hak politiknya, Ali menegaskan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) mengenai hak politik sudah melalui pertimbangan berdasarkan fakta di persidangan.
"Tuntutan JPU mengenai pencabutan hak politik tentu sudah melalui pertimbangan berdasarkan fakta perbuatan terdakwa yang terungkap di persidangan," tegas Ali.
Namun demikian, kata Ali, kedua hal tersebut sepenuhnya menjadi wewenang majelis hakim saat membacakan putusan untuk Imam.
"Karena acara berikutnya sesuai jadwal adalah pembacaan putusan," kata Ali.
Sebelumnya, Imam Nahrawi meminta majelis hakim agar mengabulkan permohonannya menjadi JC.
Menurut dia, bertindak sebagai JC membuatnya dapat membantu aparat penegak hukum mengungkap kasus suap pengajuan proposal bantuan dana hibah KONI Pusat kepada Kemenpora.
"Demi Allah, demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim Yang Mulia, jaksa penuntut Umum, dan KPK untuk mengungkap aliran dana Rp11,5 miliar ini. Dan saya mohon Majelis Hakim Yang Mulia kabulkan saya sebagai justice collaborator untuk mengungkap Rp11,5 miliar ini," kata Imam saat membacakan nota pembelaan atau pledoi melalui video conference, Jumat (19/6/2020).
Dia mengaku tidak tahu-menahu, tidak meminta, tidak memerintahkan, tidak menerima, dan bahkan tidak terlibat dalam persekongkolan jahat tersebut, seperti yang didakwakan JPU KPK.
Selain itu, dia meminta hak politik tak dicabut sebagaimana tuntutan jaksa yang memohon kepada majelis hakim agar mencabut hak politik selama 5 tahun terhitung sejak selesai menjalani pidana pokok.
Dia menambahkan apa yang sudah dilakukan selama menjabat sebagai Kemenpora tidak memperburuk prestasi olahraga nasional.
"Yang Mulia, izinkan saya berharap kepada Yang Mulia untuk tetap berkiprah di dunia politik, tidak dicabut hak politik. Karena sesungguhnya hal itu tidak mengganggu dan menurunkan prestasi olahraga nasional, tapi sebaliknya prestasi olahraga semakin meningkat tajam," katanya.
Untuk diketahui, istilah justice collaborator di hukum Indonesia salah satunya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam poin 9 Sema No. 4 tahun 2011 tersebut dijelaskan pedoman mengenai penentuan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama.
Salah satu tindak pidana yang dimaksud dalam aturan ini adalah tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, dan perdagangan orang.
Namun demikian, pemohon harus memenuhi beberapa persyaratan agar pelaku tindak pidana khusus tersebut dapat ditentukan sebagai justice collaborator.
Syarat-syarat tersebut antara lain: mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.
Untuk diketahui, mantan Menpora Imam Nahrawi dituntut pidana penjara selama 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
JPU KPK menyatakan Imam Nahrawi terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa menerima suap untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI pusat kepada Kemenpora pada tahun kegiatan 2018.
Upaya suap yang diterima sebesar Rp11,5 Miliar. Selain itu, Imam Nahrawi juga menerima gratifikasi senilai8,64 Miliar. Sehingga, Imam diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp19 Miliar.
Mengingat posisi Imam sebagai politisi, maka Jaksa juga meminta kepada majelis hakim agar mencabut hak politik yang bersangkutan selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa Imam Nahrawi selesai menjalani pidana pokoknya.
Imam Nahrawi dituntut sesuai dakwaan kesatu alternatif pertama Pasal 12 A juncto Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 (1) KUHP dan Dakwaan kedua Pasal 12 B (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 (1) KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP.
Baca: Selamatkan Kebocoran Rp1 Triliun, BPJS Ungkap Ada 12 Kasus Fraud
Sebelumnya, di surat tuntutan terpisah, Miftahul Ulum, asisten pribadi Imam Nahrawi dituntut pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Miftahul Ulum hukuman pidana 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.