Kementerian PPPA: WFH Membuat Perempuan Korban KDRT Kehilangan Akses Melaporkan
Vennetia mengatakan jumlah kasus KDRT diperkirakan lebih banyak dari pada jumlah kasus yang terdata saat ini.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Vennetia R Danes memperkirakan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih tinggi di tengah pandemi Covid-19.
Dirinya menyebut hal ini dapat disebabkan karena kebijakan Work From Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat perempuan korban KDRT sukar untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya.
"Besar dugaan bahwa tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya karena dampak kebijakan Work From Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat perempuan korban kekerasan mungkin kehilangan akses melaporkan kasus KDRT yang dialaminya," ujar Vennetia melalui keterangan tertulis, Senin (22/6/2020).
Baca: Viral Video KDRT di Depan Anak, Psikolog: Kekerasan Bisa Jadi Lingkaran Setan
Baca: Beredar Video Dugaan Aksi KDRT, Psikolog Keluarga Jelaskan Sejumlah Faktor yang Menyebabkan KDRT
Baca: PBB Ingatkan Angka KDRT Meningkat Selama Pandemi Corona, Beberapa Negara Sudah Alami Itu
"Sarana dan prasarana komunikasi serta transportasi tidak mendukung atau pusat penyedia layanan di suatu wilayah tidak berfungsi secara optimal," tambah Vennetia.
Vennetia mengatakan jumlah kasus KDRT diperkirakan lebih banyak dari pada jumlah kasus yang terdata saat ini.
Kelompok yang rentan mengalami kekerasan adalah perempuan dan anak. Kondisi ini dapat bertambah parah bila diikuti dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik, kehilangan mata pencaharian dan terkena pemutusan hubungan kerja.
Menurut Vennetia, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Perlindungan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) harus 'jemput bola' untuk penanganan KDRT.
"Kemen PPPA dalam setiap kesempatan mendorong lembaga penyedia layanan UPTD PPA atau P2TP2A untuk pro aktif dalam menjemput bola kasus KDRT di wilayah mereka," ucap Vennetia.
Dirinya berharap strategi ini dapat dijalankan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) atau kelompok relawan Bersama Jaga Keluarga Kita (BERJARAK) di daerah.
"Jemput bola yang dimaksud bukan pasif hanya menunggu laporan datang tetapi menjangkau langsung, tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan," pungkas Vennetia.