Kirim Surat ke Ketua MA, Harifin Tumpa: Setop Panggil Hakim 'Yang Mulia'
Menurut Harifin, tidak ada dasar hukum yang mewajibkan seorang hakim di pengadilan dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia'.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2009-2012, Harifin Andi Tumpa, meminta agar masyarakat tidak lagi memanggil para hakim dan hakim agung dengan panggilan 'Yang Mulia'.
Menurut Harifin, tidak ada dasar hukum yang mewajibkan seorang hakim di pengadilan dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia'.
"Dari penelitian yang kami lakukan, tidak ditemukan dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seorang saksi, tersangka, jaksa atau pengacara untuk memanggil hakim dengan sebutan 'Yang Mulia' dalam persidangan," kata Harifin kepada wartawan, Kamis (25/6/2020).
Harifin sudah mengirimkan surat kepada Ketua MA, Syarifuddin.
Dalam surat yang juga ditandatangani oleh anggota Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi) itu, para mantan “wakil Tuhan” itu meminta agar hakim cukup dipanggil 'Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim'.
Kata Harifin, bila merujuk pada peraturan tertulis, maka tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan hakim dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia'.
Bahkan, dalam Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 telah mengatur penggantian sebutan 'Paduka Yang Mulia' (P.Y.M), 'Yang Mulia' (Y.M), Paduka Tuan (P.T) dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara-Saudari.
"Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian Bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan 'Paduka Yang Mulia', 'Yang Mulia', 'Paduka Tuan' menjadi 'Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari'," bunyi kutipan lengkap Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966.
Demikian juga dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan diatur mengenai kewajiban para pihak yang beperkara, saksi, ahli, dan pengunjung sidang, untuk bersikap tertib dan hormat kepada hakim dalam persidangan.
"Namun tidak tercantum adanya peraturan yang mengharuskan seseorang yang menghadiri persidangan untuk menyebut hakim dengan sebutan 'Yang Mulia'," ujar mantan hakim yang pernah mengadili perkara Prita Mulyasari untuk kasus perdatanya itu.
Baca: Permohonan Praperadilan Ruslan Buton Ditolak Hakim PN Jakarta Selatan
Baca: Abaikan Protokol Kesehatan Saat Jalani Sidang Tuntutan, Nikita Mirzani Ditegur Hakim
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) MA No 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, hanya diatur pengunjung sidang wajib bersikap sopan, tertib, tidak merokok, tidak berbicara satu sama lain, tidak membawa senjata dan lain-lain.
"Namun tidak tertera kewajiban para pihak yang berperkara, penasihat hukum, saksi, ahli maupun pengunjung lain untuk menyebut hakim dengan sebutan 'Yang Mulia'," cetus Harifin.
Bahkan, kata Harifin, Peraturan Menteri Kehakiman Tahun 1983 mengatur bahwa penyebutan kepada hakim hanyalah 'Saudara Hakim yang Terhormat' dan bukan 'Yang Mulia'.
Selain tidak adanya peraturan tertulis, permintaan untuk menghentikan panggilan 'Yang Mulia' itu juga didasari oleh perasaan risih dan tidak nyaman dari para mantan hakim.
Harifin menjelaskan, di masyarakat dan media sosial sudah ramai dibicarakan adanya instruksi untuk menyebut hakim dengan sebutan 'Yang Mulia'.
Sedangkan predikat 'Yang Mulia' bagi hakim dianggap tidak mencerminkan antara kenyataan dan perbuatan yang mereka lakukan.
"Kami memohon maaf bahwa usulan atau kesimpulan kami ini tidak bersifat mutlak. Hanya sebagai keprihatinan kami sebagai para pensiunan atas adanya pendapat masyarakat yang bersifat sindiran yang dikaitkan dengan sebutan/sapaan 'Yang Mulia' kepada para hakim, tetapi di dalam kenyataannya masih banyak hakim yang dalam memeriksa dan memutus perkara belum mencerminkan sikap 'Yang Mulia," kata Harifin.
"Atau seperti kata pepatah 'jauh panggang dari api'. Sehingga menimbulkan berbagai pembahasan yang bersifat sindiran yang sebenarnya tidak layak diterapkan kepada rekan-rekan hakim kita," imbuhnya.
Di sisi lain kata Harifin, para hakim yunior juga sering kali memanggil para purnawirawan hakim agung dengan 'Yang Mulia'.
Hal itu justru membuat ia dan pensiun hakim merasa tidak enak dan risih.
Baca: KontraS Minta Majelis Hakim Beri Pertimbangan Hukum Cari Aktor Intelektual Penyerangan Novel
Baca: Soal Kasus Novel, Tuntutan JPU Bukan Akhir dari Hukuman Pidana, Hakim yang Menentukan
"Karena sebenarnya sudah tidak tepat dan pantas lagi, karena kami semua sudah purnabakti," sambung mantan Ketua MA yang purnabakti pada 2012 itu.
Dari berbagai uraian itulah, KKPHA dan Perpahi mengusulkan agar Mahkamah Agung RI sebagai lembaga tertinggi peradilan mempelajari dan mempertimbangkan lebih lanjut apakah sebutan atau penggunaan 'Yang Mulia' bagi para hakim dalam persidangan masih perlu untuk diteruskan atau tidak.
"Terlepas dari pertimbangan Pimpinan Mahkamah Agung RI, sebutan/sapaan bagi para hakim seperti halnya sebutan bagi Bapak Presiden dan Para Menteri dengan sebutan 'Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim'," kata Harifin.(tribun network/gle/dod/kompas.com)