Harus Obyektif dan Akurat Analisis Karhutla Jangan Obok Psikologi Rakyat
Siti Nurbaya Bakar menegaskan untuk melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) harus akurat dan obyektif.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar menegaskan bahwa dalam melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) harus akurat dan obyektif.
Mulai dari memahami definisi hotspots dan firespots, hingga kepada angka-angka peluang secara statistik dari hotspots menjadi firespots.
Sudah saatnya semua pihak bekerja secara riil bukan hanya atas dasar asumsi dan ilustrasi. Bila tidak obyektif dan tidak akurat hanya akan merusak dan melemahkan psikologi politik rakyat.
Selain itu menterjemahkan data harus dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan prakiraan gambar-gambar ilustrasi.
“Dengan kata lain menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam 3 tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply. Analisis Karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing”, ujar Menteri Siti Nurbaya Bakar dalam pernyataannya, Minggu (28/6/2020), menanggapi soal Karhutla yang oleh sebagian masyarakat belum dipahami dan dipersepsikan secara tepat dan benar.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Afni Zulkifli, dalam FW Talk Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Lembaga Lingkungan Hidup dan Agromaritim (LHA) Forum Wacana IPB, Sabtu (28/6) mengatakan, persoalan Karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia.
''Ancaman Karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat. Ini juga akan sangat mempengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan'' kata Afni.
Menurutnya, kesalahan persepsi contohnya saat memahami definisi pengendalian karhutla. Banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja. Padahal pengendalian karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.
Kesalahan persepsi yang berimbas pada membesarnya Karhutla di tahap perencanaan, dicontohkan saat kejadian kebakaran di awal tahun 2019 di Rupat, Riau. Ketika itu titik api yang masih kecil tidak bisa langsung diintervensi Satgas Kabupaten karena Pemda setempat beralasan anggaran belum ketok palu. Pemda juga beralasan tidak memiliki anggaran yang cukup untuk pencegahan.
''Api dan asap tidak bisa menunggu anggaran ketok palu. Bahkan ada juga temuan Pemda Tingkat II hanya pasrah menunggu satgas Provinsi atau satgas nasional turun. Jika gagal direncanakan dan dicegah dengan baik mulai dari tingkat tapak, api hampir pasti akan membesar dan makin sulit dipadamkan,'' kata Afni.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspot atau titik api. Banyak yang menggunakan dan menyampaikan data tanpa edukasi yang benar ke publik, terutama soal tingkat kepercayaan (confident level) hotspot. Semua titik panas yang ditangkap satelit, dari tingkat confidence 0-80% malah dilaporkan sebagai hotspot. Padahal tidak semua hotspot adalah firespot (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).
Mengambil contoh dari data yang disajikan Walhi pada kegiatan yang sama, menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80 %, hotspot pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik. Monitoring hotspot ini bahkan sudah dapat diakses terbuka dalam bentuk aplikasi android di Web Sipongi KLHK, LAPAN, BMKG, dan BNPB.
Dengan membandingkan jumlah hotspot baseline tahun 2015, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), jumlah hotspot sebanyak 70.971 titik. Artinya perbandingan hotspot 2015 dan 2020 per Juni, terdapat penurunan jumlah hotspot sebanyak 70.101 titik atau 98,77 %.
''Ternyata angkanya beda jauh, karena satelit itu memang menangkap citra dengan polos. Kalau dari confident level 0 % jadi rujukan buat publish ke publik, jelas kurang tepat. Karena atap seng rumah orang juga sering ditangkap satelit sebagai hotspot. Jadi hotspot itu belum tentu ada kebakaran (firespot),'' kata Afni.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.