Jokowi Marah atas Kinerja Para Menteri, Refly Harun Sebut Adanya Tekanan, PDIP: Sinyal Reshuffle
Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah dan kecewa atas kinerja para menterinya. Bagaimana pula reaksi partai-partai atas kemarahan Jokowi?
Penulis: Daryono
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah dan kecewa atas kinerja para menterinya.
Hal itu karena Jokowi menganggap kinerja para menterinya masih biasa-biasa saja dan tidak ada kemajuan signifikan di tengah situasi kiris akibat Pandemi Covid-19.
Kemarahan Jokowi disampaikan dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020 yang videonya baru dipublikasikan pada 28 Juni 2020.
Jokowi pun mengancam bakal melakukan berbagai langkah luar biasa termasuk di antaranya reshuffle kabinet.
Apa makna marahnya Jokowi?
Bagaimana pula reaksi partai-partai atas kemarahan Jokowi?
Berikut tanggapan berbagai pihak soal marahnya Jokowi sebagaimana dihimpun Tribunnews.com, Senin (29/6/2020):
1. Refly Harun Sebut Jokowi Seolah-olah dalam Tekanan
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan bahwa kabinet Jokowi di periode kedua ini tidak lebih baik dari kabinet pada periode pertama Jokowi menjabat presiden.
"Mengenai (ancaman) reshuffle kabinet ini, di era kedua pemerintahan Jokowi ini saya sesungguhnya agak heran."
"Jokowi seolah-olah tertekan untuk mengadopsi sebanyak mungkin menteri," terang Refly, seperti dikutip dari tayangan yang diunggah di kanal YouTube-nya, Senin (29/6/2020).
Menurut Refly, hal itu terlihat dari portofolio kementerian maksimal 34 orang yang semuanya terisi.
Bahkan masih ditambah lagi dengan wakil menteri di beberapa kementerian.
Refly pun tak yakin, di kementerian yang punya wakil menteri itu justru lancar-lancar saja kinerjanya.
Baca: Elite PPP: Jokowi Ingin Ingatkan Kembali Tak Ada Visi Misi Menteri
Bisa jadi, lanjut dia, justru karena kebanyakan wakil menteri malah merecoki, karena ada dua nahkoda.
Refly juga menyoroti sumber rekruitmen Jokowi dalam pemilihan menteri yang berdasarkan pada dua pertimbangan.
Pertama adalah orang yang dipilih langsung oleh Jokowi, kedua adalah orang yang direkomendasikan atau diikat oleh partai politik.
Sementara dalam pemilihan presiden 2019, ada 6 partai yang mendukung Jokowi, yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan Hanura.
Dari semua partai pendukung itu, masing-masing mendapatkan jatah kursi menteri, kecuali Hanura.
Namun, Refly mengingatkan, politik akomodasi Jokowi tidak hanya mengakomodasi partai-partai politik, tapi juga mengakomodasi tim relawan.
"Ada juga wakil-wakil menteri untuk partai politik pendukung lainnya di luar enam pendukung utama itu."
"Termasuk juga staf-staf khusus, jadi sebanarnya banyak sekali pembantu-pembantu presiden Jokowi dalam peridoe kedua jabatannya," ujar Refly.
Meski memiliki banyak pembantu, namun menurut Refly, kinerja yang dianggap tidak efektif itu disebabkan karena Jokowi tidak menerapkan sistem presidensial.
"Tapi kok kinerjanya merasa tidak efektif? Ya karena satu hal, presiden Jokowi tidak mempraktekkan sistem presidensial," terang Refly Harun.
Lebih lanjut, Refly menjelaskan, kelebihan dari sistem presidensial adalah memberikan keleluasaan kepada presiden untuk mencari pembantu-pembantunya.
"Tapi terlihat pada periode kedua ini presiden Jokowi kok malah tambah didekte oleh partai-partai pendukungnya, padahal di periode pertama jauh lebih baik," ungkap Refly.
2. Politikus PDIP Sebut sebagai Sinyal Reshuffle
Anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira mengatakan pidato Presiden Jokowi dalam sidang kabinet paripurna, Kamis (18/6/2020) jelas bernada keras dengan pesan yang tegas.
Menurutnya, kata kunci dalam pidato itu adalah evaluasi kinerja para pembantu presiden soal krisis.
"Melihat gestur Presiden Jokowi dalam pidato ini, nampaknya akan ada reshuffle kabinet, terutama terhadap pembantu-pembantunya yang kurang tanggap sense of crisis," kata Andreas kepada wartawan, Senin (29/6/2020).
"Terutama tentu yang berkaitan dengan pembantu-pembantu presiden yang berkaitan dengan penanggulan covid-19, penanggulangan dampak sosial ekonomi dan pemulihan ekonomi," imbuhnya.
Baca: Pakar Komunikasi Soroti Ekspresi Jokowi saat Marah, Sebut Luar Biasa Serius: Lihat Tekanan Kata
3. PPP Serahkan ke Presiden
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi, jikalau akan ada perombakan (reshuffle) kabinet.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani memanggapi amarah dan ancaman Presiden Jokowi akan membubarkan lembaga dan melakukan reshuffle lantaran lamban menyikapi perkembangan pandemi Covid-19.
"Kalau bicara soal reshuffle, PPP tidak berubah pandangannya. Kapan mau reshuffle itu mau dilakukan dan siapa yang akan direshuffle itu biar jadi urusan Presiden," ujar Arsul Sani ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (29/6/2020).
Juga soal struktur kabinet pasca reshuffle, kata dia, mau tetap dengan komposisi sekarang atau mau dikurangi karena ada yang dilebur atau bahkan dibubarkan maka itu juga semua kewenangan Presiden.
"Batasannya adalah UUD Tahun 1945 dan UU Kementerian Negara. Sepanjang tidak menabrak konstitusi dan UU tersebut, maka parpol gak bisa ikut campur kecuali diminta pandangannya atau diminta mengirimkan nama dalam reshuffle," jelasnya.
"Jadi buat PPP tidak masalah kalau Presiden bicara dengan parpol-parpol koalisi sebelum reshufle dilakukan," ucapnya.
Lebih jauh ia melihat, kemarahan Presiden Jokowi kepada sejumlah menteri kabinetnya merupakan lecutan agar bekerja lebih keras dan lebih peka dalam menyikapi perkembangan pandemi Covid-19.
4. Pengamat LIPI Ragukan Keberanian Jokowi Lakukan Reshuffle
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego tidak yakin Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merealisasikan ancaman perombakan (reshuffle) kabinet.
Meskipun raut muka Jokowi terlihat amarah terhadap para menteri yang berkinerja buruk dalam menghadapi persoalan Covid-19.
"Gak seyakin raut wajahnya," ujar Indria Samego ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (29/6/2020).
Baca: Demokrat: Ada yang Anggap Jokowi Hanya Pencitraan
Menurut Indria Samego, walau raut wajah Jokowi kelihatan memerah, belum tentu diikuti oleh tindakan nyata merombak kabinetnya.
Belum lagi imbuh dia, Jokowi harus menghadapi elite dan partai politik yang turut memenangkannya jadi Presiden.
"Apa berani di melawan orang partai. Sudah pasti, yang disodok itu orang pilihannya. Mana mungkin mereka akan digantikan yang lain," jelasnya.
Karena itu, Indria Samego tidak yakin akan keberanian Jokowi akan melakukan perombakan menteri yang tidak berkinerja baik di masa krisis pandemi ini.
"Banyak pejabat pilihannya yang tak terdengar, tapi apa jaminannya yang terpilih kemudian akan sesuai harapan. Dari 34 menteri, yang terdengar tak lebih dari 10. Sisanya kemana? Segera saja lakukan reshuffle, kalau berani," ucapnya.
5. PKS Tunggu Tindakan Nyata Jokowi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunggu tindakan nyata dari Presiden Jokowi yang mengancam akan merombak susunan kabinet atau reshuffle karena tidak puas dengan kinerja para menteri.
"Jangan berhenti dalam pernyataan. Sepekan paling lambat mesti ada tindak lanjut aksi, keputusan tegas dan jelas dari pernyataan itu," kata politikus PKS Mardani Ali Sera kepada Tribunnews.com, Jakarta, Senin (29/6/2020).
"Jika tidak ada aksi, maka Pak Jokowi justru yang disebut tidak punya sense of crisis," sambung Mardani.
Mardani menilai, seorang Presiden sudah seharusnya berani mengambil keputusan dan tidak boleh mengeluh, tanpa melakukan tindakan yang dibutuhkan masyarakat pada saat ini.
"Jangan takut buat keputusan. Presiden tidak boleh mengeluh apalagi curhat, ambil keputusan, rakyat taruhannya," ucap Mardani.
6. PAN Sebut Sikap Jokowi sebagai Hal Wajar
Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Daulay menilai Presiden Jokowi sedang memperlihatkan rasa kecewanya terhadap kinerja menteri Kabinet Indonesia Maju.
"Presiden sudah menyebut akan melakukan apapun, termasuk akan melakukan reshuffle. Berarti presiden sudah merasakan ada yang tidak beres dalam kabinetnya," kata Saleh Daulay kepada wartawan, Jakarta, Minggu (29/6/2020) malam.
Saleh Daulay melihat, Jokowi tidak puas dengan capaian kinerja para pembantunya di lingkup eksekutif dan masih jauh dari harapannya dalam penanganan Covid-19 yang berdampak luas.
“Implikasinya kan luas, termasuk pada tingkat ekonomi masyarakat. Presiden juga khawatir betul dengan tingkat pengangguran yang semakin tinggi," kata Saleh Daulay.
Menurutnya, sikap marah dan kecewa yang disampaikan Jokowi merupakan hal yang wajar, karena dalam kondisi yang sudah luar biasa, dianggap biasa-biasa saja oleh menterinya.
"Sangat wajar dan tepat jika presiden marah. Tugas beliau adalah mengevaluasi kinerja para pembantunya. Jika ada yang tidak memuaskan, presidenlah yang berhak memberikan teguran dan peringatan," ujar Saleh.
“Saya melihat bahwa fokus presiden adalah penyelamatan 267 juta warga negara dan itu disebut beberapa kali dalam pidato. Untuk itu, presiden rela melakukan banyak hal, termasuk reshuflle dan mengeluarkan payung hukum yang diperlukan," sambung Saleh.
(Tribunnews.com/Daryono, Seno Tri Sulistiyono, Aco/Fransiskus, Srihandriatmo Malau, Chaerul Umam, Nanada Lusiana)