Jokowi Soroti Anggaran Kemenkes Rp 75 T Baru Keluar 1,53 Persen, Pengamat: Ada Persoalan Serius
Direktur Eksekutif Indo Barometer dan Pengamat Politik, M Qodari menilai ada persoalan serius dibalik marahnya Presiden Joko Widodo.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Indo Barometer dan Pengamat Politik, M Qodari menilai ada persoalan serius di balik marahnya Presiden Joko Widodo.
"Kalo menurut saya ya marah lah, mana ada yang mau kasih motivasi kalau baru satu setengah persen keluar dari 75 triliun?" ujar Qodari, menyinggung jawaban Waketum Gerindra, Arief Poyuono dalam Mata Najwa 'Di Balik Jengkelnya Jokowi' pada Rabu (1/7/2020).
Sebelumnya Arief mengatakan bahwa Presiden Jokowi hanya bertujuan memotivasi para menteri di balik pidato yang dirilis beberapa waktu lalu.
Baca: Soal Kejengkelan Jokowi pada Para Menteri, Fahri Hamzah: Presiden Mulai Frustasi
Baca: Jokowi Marahi Menterinya, Pengamat: Lagu Lama Kaset Usang
Qodari menyoroti salah satu pernyataan presiden pada sidang kabinet di Istana Negara, Kamis (18/6/2020).
Presiden sempat menyinggung anggaran bidang kesehatan di bawah naungan Kemenkes.
"Untuk pemulihan ekonomi nasional, misalnya saya berikan contoh bidang kesehatan."
"Itu dianggarkan Rp 75 triliun. Rp 75 triliun baru keluar 1,53 persen coba," kata Jokowi saat rapat kabinet.
Berangkat dari pernyataan ini, Qodari menilai ada masalah serius di balik kemarahan presiden.
"Jadi menurut saya kalau pidato Pak Jokowi yang 10 menit itu dicermati sesungguhnya memang ada persoalan," ungkapnya.
"Dan persoalan itu kalau kita bagi terutama pada aspek penyerapan anggaran dan pada aspek stimulus ekonomi," tambah Qodari.
Qodari memaparkan tiga bidang yang sangat terdampak oleh Covid-19.
Antara lain kesehatan, bantuan sosial, dan stimulus ekonomi.
"Ini bagaimana cara menjelaskan bahwa duit 75 triliun ini baru keluar 1 setengah persen? Saya mencoba untuk fair bahwa untuk bisa keluarnya dana itu ada beberapa pihak yang terlibat," katanya.
"Yang pertama tentu menterinya sendiri, yang kedua adalah birokrasi."