Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

LBH APIK Ungkap Sulitnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual Tanpa Payung Hukum: Itu Terobosan RUU PKS

LBH APIK Jakarta membeberkan sulitnya mendampingi korban kekerasan seksual tanpa payung hukum. Korban justru mendapat stigma negatif.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in LBH APIK Ungkap Sulitnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual Tanpa Payung Hukum: Itu Terobosan RUU PKS
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah perempuan dari Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) melakukan aksi damai saat Car Free Day di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/8/2019). Dalam aksinya, mereka mensosialisasikan dan mendorong pengesahan RUU PKS untuk menjamin perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM - Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita membeberkan sulitnya mendampingi korban kekerasan seksual tanpa payung hukum.

Menurut Dinov, sapannya, kasus kekerasan yang menimpa perempuan dewasa, akan berakhir suka sama suka.

Biasanya, korban justru didorong bersalah lantaran stigma negatif yang masih bersarang di Indonesia.

Seperti anggapan mengapa perempuan mau melakukan itu, tidak pantas keluar malam dan memakai pakaian minim.

"Kasus kekerasan seksual bukan dianggap melanggar kemanusiaan."

"Jadi seperti dianggap melanggar norma dan budaya saja," ungkap Dinov kepada Tribunnews, melalui Zoom Meeting, Kamis (2/7/2020) malam.

Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita.
Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita. (Tribunnews/Istimewa)

Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia

Lebih parahnya lagi, bila kasus kekerasan seksual terjadi di daerah-daerah.

Berita Rekomendasi

Maka penyelesaikan kasus biasanya berakhir membayar denda atau korban dinikahkan dengan pelaku.

"Jadi belum ada payung hukum yang membicarakan bagaimana dengan korbannya."

"Pelaku bisa dihukum dipenjara, tetapi yang memastikan korban pulih dan kembali beraktivas itu tidak ada," terang Dinov.

Dalam setahun terakhir ini misalnya, LBH APIK mendampingi 140an korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak.

Namun, yang bisa masuk ke jalur hukum hanya sekitar 11 kasus saja.

Ilustrasi pelecehan - Begini kronologi menantu cabuli ibu mertuanya hingga tujuh kali. Pelaku tak segan melecehkan meski korban berada di pinggir jalan.
Ilustrasi pelecehan - Begini kronologi menantu cabuli ibu mertuanya hingga tujuh kali. Pelaku tak segan melecehkan meski korban berada di pinggir jalan. (UPI.com)

Baca: LBH APIK Jakarta Beberkan Sederet Alasan Mengapa RUU PKS Harus Benar-benar Disahkan

Dinov menuturkan, kasus tersebut tidak dibawa ke jalur hukum lantaran sulitnya mendapat bukti dan saksi.

"Padahal kalau memang ada saksi, kejadian kekerasan seksual tidak akan terjadi," tuturnya.

Berdasarkan pengalaman itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini diharapkan bisa segera disahkan.

Lantaran akan ada terobosan dalam RUU tersebut, korban kekerasan seksual bisa juga berperan sebagai saksi.

"Terobosan itu yang ada di RUU PKS, bahwa seorang korban bisa menjadi saksi, tanpa perlu saksi lainnya."

"Karena kita sudah jenuh dengan situasi pendampingan korban, selalu kalah di proses hukum, kasus nggak selesai justru korban dapat stigma berulang," terang Dinov.

Alasan RUU PKS tak kunjung disahkan

Dinov juga membeberkan sederet alasan mengapa RUU PKS tak kunjung disahkan.

Dinov mengaku sudah sejak 2017 memantau perkembangan RUU PKS di DPR RI.

Hingga kabar ditariknya dari Prolegnas 2020 mencuat ke publik, Dinov menuturkan substansi dari RUU PKS ini masih belum dibahas.

Padahal, proses pembahasannya sudah berjalan selama lebih dari tiga tahun.

Hal itu dikarenakan, selalu ada berbagai alasan dari pihak penolak RUU PKS yang menghambat.

Misalnya, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual.

Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). GEMAS mendesak pihak DPR khususnya Panja RUU PKS Komisi VIII agar segera membahas RUU P-S. Di dalamnya sendiri terdapat poin yang harus disahkan, yaitu menyepakati judul dan sistematika dari RUU PKS sendiri. Tribunnews/Jeprima
Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). GEMAS mendesak pihak DPR khususnya Panja RUU PKS Komisi VIII agar segera membahas RUU P-S. Di dalamnya sendiri terdapat poin yang harus disahkan, yaitu menyepakati judul dan sistematika dari RUU PKS sendiri. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Baca: RUU PKS Ditarik dari Prolegnas, Nasdem Tak Setuju: Korban Kekerasan Seksual Harus Dapat Perlindungan

"Alasan-alasan mereka tidak masuk akal, tidak sesuai dengan inti RUU PKS."

"Padahal intinya ini memberikan keadilan bagi korban yang selama ini sulit didapatkan," ujar Dinov.

Contoh lain yang sempat menjadi kontroversi pada akhir 2019 lalu, RUU PKS diangap melegalkan seks bebas.

Selain itu, pihak penentang juga menganggap draf RUU PKS mengadopsi dari ideologi budaya barat.

"Jadi RUU ini ada bukan dari barat, bukan dari kita mengadopsi dari luar negeri."

"Tapi RUU ini ada justru kita melihat situasi korban yang ada di Indonesia," tegas Dinov.

Alasan RUU PKS Diusulkan Keluar Daftar Prolegnas

Sebelumnya, Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020.

Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini.

Pasalnya, RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR.

Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). GEMAS mendesak pihak DPR khususnya Panja RUU PKS Komisi VIII agar segera membahas RUU P-S. Di dalamnya sendiri terdapat poin yang harus disahkan, yaitu menyepakati judul dan sistematika dari RUU PKS sendiri. Tribunnews/Jeprima
Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). GEMAS mendesak pihak DPR khususnya Panja RUU PKS Komisi VIII agar segera membahas RUU P-S. Di dalamnya sendiri terdapat poin yang harus disahkan, yaitu menyepakati judul dan sistematika dari RUU PKS sendiri. (Tribunnews/JEPRIMA)

Baca: RUU PKS Ditarik karena Sulit, Sujiwo Tejo: Bagaimana Kalau Siswa Kembalikan Soal Ujian karena Sulit?

"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).

Marwan pun menyampaikan, Komisi VIII mengusulkan pembahasan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia untuk masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020.

"Sekaligus kami mengusulkan ada yang baru yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia."

"Karena RUU Penanggulangan Bencana sudah berjalan, perkiraan teman-teman RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia masih bisa kita kerjakan," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Inza Maliana)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas