Simplifikasi Cukai Rokok Dukung Visi Presiden untuk Optimalkan Penerimaan Negara
Kebijakan cukai rokok jangka panjang tetap diperlukan untuk membangun iklim usaha yang baik, transparan dan memberikan kepastian hukum
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Langkah Pemerintah dalam memproyeksikan kebijakan simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai sebagai program strategis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dinilai tepat oleh Sekjen Transparansi International Indonesia (TII), Danang Widoyoko.
Baru-baru ini Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan PMK 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020 – 2024, yang menetapkan penyederhanaan struktur cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi reformasi fiskal.
Pengamat kebijakan publik Danang Widoyoko menilai, kebijakan cukai rokok jangka panjang tetap diperlukan untuk membangun iklim usaha yang baik, transparan dan memberikan kepastian hukum.
"arena itu, pembuatan kebijakan cukai jangka panjang perlu diformulasikan dan dituangkan pada peraturan yang memiliki kekuatan hukum dan dijalankan dengan konsisten,” jelas Danang di acara diskusi online 'Kebijakan Cukai rokok Di Tengah Optimalisasi Penerimaan Negara, Pengendalian Konsumsi dan RPJMN 2020 – 2024', Rabu (8/7/2020).
Baca: Petani Tembakau Temui Anggota DPR, Bahas Rencana Kenaikan Cukai Rokok
Danang menjelaskan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui RPJMN yang kemudian diturunkan dalam PMK 77/2020 mengenai penyederhanaan struktur tarif cukai rokok, mencerminkan sikap dan komitmen Pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus sebagai upaya pencapaian visi Presiden.
“Berbagai studi telah menyarankan bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merupakan best practice bagi pengendalian konsumsi rokok. Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN juga telah menggariskan simplifikasi cukai rokok sebagai upaya pencapaian visi Presiden yakni menciptakan sumber daya manusia unggul,” ujarnya.
Aturan penyederhanaan struktur tarif cukai sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau. Dicantumkan dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021.
Tujuannya, untuk optimalisasi penerimaan cukai hasil tembakau, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Namun demikian, kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tersebut hanya berjalan 1 tahun di 2018 dan kemudian tidak dijalankan kembali, dengan dikeluarkannya PMK 156/2018 tentang perubahan atas PMK 146/2017 dan saat ini menjadi PMK 152/2019.
Baca: Pemerintah Optimistis Ekonomi Tetap Positif Ditopang Sektor Industri Rokok hingga Farmasi
Struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019 sampai dengan saat ini.
“Struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar Danang.
Danang menjelaskan, ketentuan tentang cukai tidak hanya menjadi sumber penerimaan negara tetapi juga untuk pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara bahkan perlindungan tenaga kerja seperti yang tercantum di UU No. 11 tahun 1995 juncto UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai.
Ketentuan cukai juga berdampak pada kepentingan industri, kebijakan yang diambil pemerintah pada akhirnya akan menjadi subjek untuk negosiasi, kompromi atau perlawanan.