Peran TNI Atasi Terorisme Harus Ada Pembagian Tugas dari Sisi Tingkat Ancaman dan Wilayah Jurisdiksi
Keputusan Presiden sudah tepat dan langkah melibatkan TNI dalam terorisme akan menjadi komplementer dengan tugas anti terorisme Polri
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie mengatakan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme bukanlah hal baru.
Menurutnya sudah banyak kontribusi TNI dalam mengatasi terorisme, terutama dalam memberikan informasi intelijen kepada BIN.
"Banyak sudah kontribusi TNI terutama BAIS TNI dalam memberikan informasi intelijen pada BIN misalnya. Keputusan Presiden sudah tepat dan langkah melibatkan TNI dalam terorisme akan menjadi komplementer dengan tugas anti terorisme Polri," ujar Connie, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (9/7/2020).
Akan tetapi, Connie menegaskan pentingnya ada pembagian tugas antara TNI dan Polri dalam mengatasi terorisme.
Hal tersebut harus ditandai dengan dua parameter, yaitu tingkat ancaman dan wilayah jurisdiksi.
"Jadi semisal wilayah jurisdiksi masih dalam wilayah nasional yang terjangkau mudah, meskipun itu harus ditangani oleh Densus 88 Polri, namun ketika tingkat ancamannya sudah melebihi kapasitas kepolisian, maka bisa diambil alih oleh Team Elite TNI seperti Den 81 Kopassus," jelasnya.
Kemudian, Connie mengatakan parameter wilayah operasi juga menjadi terjangkau karena kepolisian sangat terbatas jelajahnya.
Baca: Setara Institute Sebut Syarat Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Sementara medan sulit ibaratnya sudah menjadi makanan sehari-hari dari TNI.
"Memang ada Brimob. Namun ketika dihadapkan dengan high intensity operation di wilayah yang bermedan sulit yang memerlukan dukungan lebih dari yang dimiliki oleh Polri, maka disini menjadi tugas TNI. Medan yang sulit sudah menjadi makanan sehari-hari Komando TNI," jelas Connie.
Selain itu, Connie mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk berhati-hati dalam mengerahkan militer. Pasalnya dia menilai ada tiga hal penting yang harus dicermati.
Pertama, terkait fitrah militer adalah penghancur, sementara fitrah kepolisian adalah penegakan hukum. Menurutnya tidak bisa dicampur baur apabila ada operasi BKO kepolisian kemudian dibantu tentara lagi.
Kedua, terkait prinsip darurat militer yang dikenal dalam bernegara, saat negara sedang bertahan. Karena itu ketika ada deklarasi darurat militer, semua korban yang jatuh bukanlah pelanggaran HAM.
"Tentunya bedakan dengan pemerkosaan, penyiksaan dan kegiatan yang dilarang oleh hukum perang. Ketika operasi penegakan hukum gagal, maka Presiden dengan terbuka harus mengumumkan deklarasi untuk deployment militer. Ini yang akan memayungi kepastian hukum, karena secara resmi yang berlaku adalah hukum perang dan kaidah militer," kata dia.
Baca: Danjen Kopassus Nilai TNI Harus Dilibatkan Atasi Terorisme Dalam Aspek Ancaman Kedaulatan Negara
Ketiga, terkait kekuatan sipil yang tidak menyukai pelibatan TNI. Connie menyebut dalam hal ini ada dua sisi. Di satu sisi dari pemerhati HAM yang mungkin belum tercerahkan atau masih salah paham dengan TNI.
"Biasanya masih paranoid dengan pelibatan militer dan masih belum percaya dengan reformasi TNI yang sekarang sangat humanis dan menghargai HAM karena HAM identik dan sebangun dengan Pancasila," ungkapnya.
Sementara sisi lainnya adalah pihak yang pro terorisme yang akan menunggangi pihak pemerhati HAM.
"Karena mereka tahu, ini akan berakibat sangat buruk pada kelompoknya. Ini juga perlu di lakukan penyelidikan intelijen, siapa saja mereka, bagaimana mereka berinteraksi hingga jaringan mereka ke kelompok teror mana. Sehingga pada saatnya, negara bisa meringkus mereka sesuai hukum," tandasnya.