ICW: MLA Indonesia dengan Swiss Hanya Bagian Kecil Perampasan Aset di Luar Negeri
Menurut ICW, hal terpenting saat ini adalah DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Coruption Watch (ICW) menilai perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) dengan Swiss hanya bagian kecil dari legislasi yang mendukung perampasan aset hasil kejahatan korupsi di luar negeri.
Menurut ICW, hal terpenting saat ini adalah DPR RI segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Baca: Pemerintah Segera Lacak Aset Hasil Kejahatan di Swiss Seiring Disahkannya UU MLA Indonesia-Swiss
"Hal yang paling penting saat ini adalah bagaimana DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Sebab, RUU ini kami yakini menjadi paket penting untuk dapat merampas aset hasil kejahatan korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (15/7/2020).
ICW memandang di masa yang akan datang, jika RUU ini sudah disahkan, penegak hukum tidak lagi bergantung dengan kehadiran para pelaku korupsi di Indonesia.
Sekali pun menjadi buronan, aset mereka yang diduga berasal dari kejahatan korupsi yang jika tidak dapat dibuktikan sebaliknya bisa dirampas dalam persidangan.
"Metode pembuktiannya pun lebih mudah, karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian," Kurnia menjelaskan.
Sehingga, sambungnya, penting untuk diketahui bahwa RUU Perampasan Aset sudah menjadi tunggakan legislasi DPR dan pemerintah sejak tahun 2012.
Dalam konteks ini, publik juga dapat dengan mudah melihat bahwa pembentuk UU memang tidak pernah memikirkan penguatan legislasi pemberantasan korupsi.
"Dapat dibayangkan, legislasi penting seperti RUU Perampasan Aset ini saja selama delapan tahun tidak kunjung dibahas oleh pembentuk UU. Sedangkan revisi UU KPK, prosesnya sangat kilat, praktis kurang dari 15 hari saja," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyebut pemerintah akan mulai prosedur pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.
Hal tersebut disampaikan Yasonna usai DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss untuk menjadi UU dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Yasonna menegaskan, aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum UU tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Hukum Timbal Balik dalam Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss berlaku tetap bisa dilacak dan disita oleh negara.
"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," tutur Yasonna.
Yasonna juga menyampaikan, bahwa pemerintah akan terus mencoba menjalin perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) serupa dengan negara-negara lain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional.
Baca: RUU Perjanjian MLA RI-Swiss yang Disahkan DPR Jadi Tumpuan Memburu Harta Koruptor di Swiss
"UU kali ini kan khusus antara Swiss dengan Indonesia. Sebelumnya, kita juga sudah mengikat perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Rusia, Iran, dan sejumlah negara lain," ucap Yasonna.
"Kita akan teruskan hal ini. Misalnya dengan Serbia, walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draft dan akan kita bahas tahun depan setelah pandemi Covid-19 ini berakhir," tambahnya.