Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tim Advokasi Novel Baswedan Minta Presiden Jokowi Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta

Muhammad Isnur, meminta Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta agar mengusut ulang perkara penyerangan kepada Novel Baswedan.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Tim Advokasi Novel Baswedan Minta Presiden Jokowi Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
Tribunnews/Irwan Rismawan
Layar menampilkan sidang pembacaan putusan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang disiarkan secara live streaming di PN Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kamis (16/7/2020). Tribunnews/Irwan Rismawan 

 Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi Novel Baswedan menyoroti vonis pelaku penganiayaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Majelis hakim memvonis Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis pidana penjara 2 tahun dan 1,5 tahun.

Mereka masing-masing dipidana melakukan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka berat.

Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Muhammad Isnur, meminta Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta agar mengusut ulang perkara penyerangan kepada Novel Baswedan.

"Pasca putusan hakim, presiden harus segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta menyelidiki ulang kasus penyiraman air keras yang menimpa Penyidik KPK, Novel Baswedan. Sebab, penanganan perkara yang dilakukan Kepolisian terbukti gagal mengungkap skenario dan aktor intelektual kejahatan ini," ujar Isnur, dalam keterangannya, Jumat (17/7/2020).

Sejak awal penanganan perkara, dia menilai, terdapat skenario membuat tuntutan yang ringan untuk mengunci putusan hakim.

Berita Rekomendasi

Masing-masing terdakwa hanya dituntut pidana penjara oleh Jaksa Penuntut Umum selama satu tahun.

Baca: Rekam Jejak Tiga Hakim yang Memvonis Dua Pelaku Penganiaya Novel dengan Pidana 2 Tahun dan 1,5 Tahun

Selama ini, dia melihat, tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan.

Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara.

"Mengapa putusan harus ringan, agar terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi whistle blower/justice collaborator. Skenario sempurna ditunjukkan sikap terdakwa menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," ujarnya.

Jurnasli memotret layar yang menampilkan sidang pembacaan putusan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang disiarkan secara live streaming di PN Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kamis (16/7/2020). Tribunnews/Irwan Rismawan
Jurnasli memotret layar yang menampilkan sidang pembacaan putusan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang disiarkan secara live streaming di PN Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kamis (16/7/2020). Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Mengapa tuntutan harus ringan terkait keyakinan pihaknya barang dan alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki keterkaitan serta kesesuaian dengan para terdakwa.

Sehingga, putusan majelis hakim harus dikatakan bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP yang mengamanatkan hakim harus memiliki keyakinan dengan didasarkan dua alat bukti sebelum menjatuhkan sebuah putusan.

Baca: Ini Respons Novel Baswedan atas Vonis Dua Penyerangnya: Sejak Awal Ini Sidang Sandiwara

Selain itu, Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara karena selama ini mendiamkan citra penegakan hukum dirusak oleh kelompok tertentu.

"Dengan hormat kami ingatkan Bapak Presiden bahwa Kapolri dan Kejagung berada di bawah Presiden karena tidak ada kementerian yang membawahi kedua lembaga ini. Baik buruk penegakan hukum adalah tanggung jawab langsung Presiden yang akan terus tercatat di sejarah Negara Hukum Republik Indonesia," tambahnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas