MK Nyatakan Uji Undang-undang Senpi Tidak Dapat Diterima
Pada sidang terdahulu, pemohon menguraikan sebuah kasus konkret dimana dirinya telah ditangkap pada 29 Mei 2019
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi yang dimohonkan Kivlan Zen, purnawirawan TNI Angkatan Darat RI. Sidang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Rabu (21/7/2020).
“Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, mahkamah sulit menentukan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun jika pemohon memiliki kedudukan hukum, permohonan pemohon adalah kabur,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat, di sidang perkara yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XVIII/2020 ini, seperti dilansir laman MK RI.
Dalam perkara itu, Kivlan mendalilkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951) tentang Senjata Api (UU Senpi) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Baca: MK Tetapkan Penarikan Permohonan Ki Gendeng Pamungkas
Pada sidang terdahulu, pemohon menguraikan sebuah kasus konkret dimana dirinya telah ditangkap pada 29 Mei 2019 dengan sangkaan kepemilikan senjata api dan peluru ilegal.
Saat proses hukum lanjutan, pemohon didakwa sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana dan membantu melakukan tindakan pidana sehingga divonis pengadilan dengan Nomor Perkara 1113/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Pst yang diputus pada 3 Maret 2020.
Pemohon menilai pasal pada UU Senpi telah berakibat tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dan merugikan hak konstitusionalnya.
Baca: MK Terima Permohonan Uji Materi UU BUMN
Menurut Pemohon pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) terutama tentang perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon dalam vonis pada beberapa nomor perkara yang terkait dengan kepemilikan senjata dan peluru ilegal yang dijatuhkan padanya.
Diskriminasi ini ditemui Pemohon saat salah seorang terdakwa yang memiliki senjata dapat dilepaskan, sedangkan dirinya yang tidak pernah melakukan tuduhan yang dimaksudkan tersebut tetap harus menjalankan proses hukum sebagaimana yang disangkakan.
Terhadap permohonan ini, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjabarkan bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Rabu (13/5) lalu.
Sesuai ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim pun telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonannya.
Sidang selanjutnya yang beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan dilaksanakan pada 15 Juni 2020. Pada kesempatan ini, Pemohon menguraikan perbaikan permohonanya mulai dari Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum.
Namun, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya pasal dengan kerugian konstitusional pihaknya yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Terkait dengan argumentasi mengenai kedudukan hukum, Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan.
Selain itu, alasan permohonan Pemohon tidak menerangkan argumentasi yang bertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.
Pemohon justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami tanpa mempertegas tautan argumentasi dan pertentangan norma yang diajukan tatkala sidang pengujian undang-undang yang dimaksud.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.