PKS Sebut Naskah Akademik Omnibus Law Ciptaker Tidak Layak dan Tidak Berkualitas
Syahrul Aidi Maazat mengatakan hingga saat ini kasus Covid-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Syahrul Aidi Maazat mengatakan hingga saat ini kasus Covid-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan.
"Pemerintah dinilai gagal membendung penyebaran Covid-19 ini, yang mengakibatkan dibubarkannya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19," ujar Syahrul dalam keterangannya, Rabu (22/7/2020).
Namun demikian, menurut Syahrul, hal ini tidak membuat Pemerintah semakin fokus dalam penanganan Covid-19, tetapi malah tancap gas dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Bahkan di masa reses dikebut untuk dibahas seperti yang terjadwal pada hari ini, Rabu, 22 Juli 2020," ujar Syahrul.
Baca: Massa Aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP Bubar, Jalan Depan DPR Kini Kembali Dibuka
Menurut dia, RUU Cipta Kerja ini mengangkat persoalan klasik yang sering dituding sebagai penyebab lemahnya investasi yang masuk ke Indonesia yaitu lamanya proses perijinan yang menurut pemerintah adalah akibat banyaknya syarat yang harus dipenuhi oleh investor sebelum mereka dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Sebagai solusinya pemerintah menggadang-gadang bahwa RUU Cipta Kerja dapat menjawab persoalan tersebut dan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa sedikitpun memberikan bukti berapa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan akan dicapai jika RUU Cipta Kerja ini berhasil disahkan oleh DPR.
"Selain itu draft RUU dan Naskah Akademik nya pun terkesan dipaksakan untuk segera masuk dan dibahas," ujar Syahrul.
Dijelaskan bahwa banyak sekali inkonsistensi dan ketidakjelasan konsep dalam draft dan NA RUU Cipta Kerja, dimana RUU ini akan merevisi 78 UU namun argumentasi yang diberikan sangatlah sedikit.
"Sebagai contoh, salah satu UU yang akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja ini adalah UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung," katanya.
Menurutnya, dalam RUU ini 80% substansi UU No. 28 Tahun 2002 akan direvisi, dimana 60% diantaranya merupakan penghapusan materi muatan UU.
Alasan yang paling banyak dikemukakan terkait revisi UU No. 28 Tahun 2002 ini adalah banyaknya tumpang tindih aturan, namun demikian Pemerintah tidak dapat membuktikan satu ayat pun dari UU No. 28 Tahun 2002 ini yang tumpang tindih dengan UU lainnya.
Selain itu, lanjut Syahrul, Pemerintah tidak memberikan argumentasi yang cukup dalam Naskah Akademik karena hanya menyediakan penjelasan sebanyak 1,5 halaman.
"Padahal dapat dibayangkan, sebuah UU yang separuh isinya dihapuskan sudah pasti kehilangan ruh pengaturannya," katanya.
Dijelaskan walaupun Pemerintah menjanjikan bahwa aturan yang dihapus ini akan dipindahkan ke dalam PP, akan tetapi akibat pelemahan ini justru dapat berakibat pada ketidakpastian berusaha bagi pengusaha sebab aturan-aturan ini dapat saja sewaktu-waktu diubah kembali karena tidak memiliki kekuatan seperti dalam UU.
Beberapa isu yang mengemuka dari revisi UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ini adalah dihapuskannya peran Pemerintah Daerah dalam membina wilayahnya melalui penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Sebab, kata dia, dalam RUU ini IMB akan diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang nantinya akan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, yang belum tentu mengerti kondisi wilayah yang ada di berbagai daerah mengingat betapa luasnya wilayah Indonesia dan betapa khasnya permasalahan di setiap daerah. Juga mengurangi semangat otonomi daerah yang tercantum dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 Amandemen ke-2.
"Isu lainnya adalah dihapuskannya materi muatan terkait persyaratan Bangunan Gedung dimana didalamnya terdapat berbagai aturan terkait keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan yang sudah barang tentu dapat membahayakan pengguna gedung dan bisa jadi sebuah bangunan gedung tidak lagi ramah bagi penyandang cacat dan lansia apabila persyaratan-persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi," ujar Syahrul.
Kemudian, kata Syahrul, terdapat pula isu terkait proses penerbitan PBG (dulu IMB) dan SLF yang berpotensi menimbulkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat dan menyuburkan praktek percaloan, dimana jangka waktu antara penerbitan PBG dengan pendirian Bangunan Gedung tidak lagi dibatasi.
Baca: 6 Serikat Pekerja dan Buruh Konsisten Kawal Pembahasan Kluster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja
Oleh sebab itu mengingat lebih dari 80% materi muatan UU No. 28 tahun 2002 akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja ini, maka FPKS mendorong agar pembahasannya dikembalikan ke komisi V yang secara khusus membidangi persoalan Bangunan Gedung.
"Hal ini dibutuhkan agar dapat membahas lebih dalam revisi UU tersebut dengan mengundang pakar khusus terkait UU yang direvisi," ujarnya.
Selain itu FPKS juga meminta Pemerintah menghadirkan argumentasi yang memadai terkait indikasi adanya tumpang tindihnya peraturan dalam UU No. 28 tahun 2002 ini dengan UU lainnya, yang menyebabkan UU ini harus direvisi melalui kajian empirik dan bukan melalui hipotesa yang subjektif tanpa data yang valid.