MK Tarik Permohonan Ki Gendeng Pamungkas, Setelah Pemohon Meninggal Dunia
Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan pada 9 Mei 2020 dari Ki Gendeng Pamungkas.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Kuasa Pemohon hanya menyerahkan Surat Kematian Nomor 474.3/69-TGL, atas nama Iman Santoso, kepada Panel Hakim.
Panel Hakim meragukan Surat Kematian tersebut.
Oleh karena itu, untuk meyakinkan kebenaran informasi dimaksud, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada tanggal 6 Juli 2020 memerintahkan Panel Hakim untuk menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 13 Juli 2020 dengan agenda menghadirkan Pemohon Prinsipal,
Ki Gendeng Pamungkas.
Sebelum diselenggarakan sidang pendahuluan tambahan, MK menerima surat dari kuasa hukum Pemohon perihal pencabutan permohonan Perkara No. 35/PUU-XVIII/2020 yang diterima MK pada 9 Juli 2020.
Dengan alasan, kuasa hukum Pemohon telah mendapatkan kepastian meninggalnya Pemohon Prinsipal Ki Gendeng Pamungkas pada 6 Juni 2020.
Rapat Permusyawaratan Hakim pada 13 Juli 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali.
Ingin Perbaiki Ketatanegaraan Sebelumnya, Pemohon menguji UU Pemilu. Materi yang diuji antara lain Pasal 1 angka 28 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai potitik yang telah memenuhi persyaratan”.
Kemudian Pasal 221 UU Pemilu yang menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dan Pasal 222 UU Pemilu, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota
DPR sebelumnya”.
Selain itu, Pasal 225 ayat (1) UU Pemilu, “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden sebelum penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD”.
Pemohon mendalilkan, norma yang diujikan bertujuan untuk kepentingan keutuhan dan rasa nyaman warga negara jika antara eksekutif dan parlemen bukan berasal dari partai sebagaimana sekarang.
Maka partai berkuasa dapat segala-galanya di kepresidenan dan parlemen sebagaimana peristiwa KPK yang tidak dapat masuk ke kantor PDIP dan seterusnya.
Demikian juga masuknya TKA Cina dalam keadaan Covid-19 atau pembuatan Perppu sampai kepada mengatur anggaran Covid-19 tidak memerlukan persetujuan parlemen.
Maka hal ini benar-benar telah menantang Pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara menjadi presiden atau wakil presiden sehingga tidak lagi dengan orasi atau demonstrasi jalanan.
Pemohon beranggapan, penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakat bukan dari partai politik atau gabungan partai politik saja, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945.