Nagara Institute Kritisi Fenomena Dinasti Politik di Indonesia
Nagara Institute membuat catatan kritis terkait Dinasti Politik yang saat ini menjadi sorotan jelang Pilkada di Indonesia.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nagara Institute membuat catatan kritis terkait Dinasti Politik yang saat ini menjadi sorotan jelang Pilkada di Indonesia.
Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal dalam keterangannya, Sabtu (1/8/2020) mengatakan, dinasti politik adalah satu praktik kejahatan politik yang terorganisir dengan baik terhadap demokrasi.
"Sebab, cara ini melegitimasi berkumpulnya kekuatan politik di satu tangan/keluarga/kelompok berdasarkan kekerabatan keluarga," jelas Akbar Faizal.
Baca: Isu Dinasti Politik di Pilkada, Ketum Golkar: Jika Masyarakat Memilih secara Demokratis, Sah
Hal ini disampaikannya merespons pernyataan Ketum Golkar Airlangga Hartarto bahwa politik dinasti adalah "Realitas Politik" yang diinginkan masyarakat. Akbar Faizal menegaskan bahwa hal itu bukanlah ‘akibat’ tapi ‘sebab’ yang muncul akibat perilaku elit parpol yang memaksa masyarakat agar memilih kandidat disodorkan parpol.
Pernyataan Ketua Umum Golkar itu, lanjut Akbar Faizal, dapat dimaknai bahwa parpol khususnya Partai Golkar tak berniat untuk memahami situasi yang membahayakan demokrasi.
Berikut pernyataan Akbar Faizal dalam rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com
Nagara Institute memberikan 5 (lima) catatan kritis terhadap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar tersebut:
Baca: Alasan-alasan Adanya Pejabat Publik yang Inginkan Sistem Dinasti Politik
1. Dinasti politik adalah bentuk praktek kejahatan politik yamg terorganisir dengan baik terhadap demokrasi sebab melegitimasi berkumpulnya kekuatan politik --yang berdampak terhadap kehidupan banyak orang-- di satu tangan/keluarga/kelompok berdasarkan kekerabatan keluarga.
2. Dinasti politik merampas hak rakyat dan atau orang lain untuk mengambil peran-peran konstitusional dalam kehidupan sosial politik rakyat sekaligus merusak kaderisasi parpol.
Parpol seharusnya menjadi pihak yang terganggu dan gelisah atas praktek politik jenis ini sebab dinasti politik telah membajak tujuan luhur partai politik melayani dan memfasilitasi hak-hak konstitusional semua orang dan bukan hanya orang/kelompok yang kebetulan sedang memiliki kekuatan politik mengendalikan pilihan parpol memilih orang-orang untuk jabatan itu.
3. Dinasti politik bukanlah realitas politik yang diinginkan masyarakat tetapi keinginan elit yang dilegitimasi oleh kepemilikan otoritas organisasional. ‘Realitas politik’ yang dimaksudkan oleh Bapak Airlangga Hartarto bukanlah ‘akibat’ tapi sebagai ‘sebab’ yang muncul sebagai dampak dari perilaku elit parpol yang memaksa masyarakat untuk memilih kandidat yang disodorkan parpol.
4. Pernyataan tersebut juga dapat dimaknai sebagai parpol khususnya Partai Golkar tak berniat untuk memahami situasi yang membahayakan demokrasi ini dan sekaligus tak bermaksud untuk mengupayakan berbagai langkah untuk menghentikan praktek anomali demokrasi ini. Terbaca dengan kuat pesan bahwa partai politik kalah dan selanjutnya menerima apa adanya politik dinasti ini. Sesuatu yang sangat membahayakan perjalanan demokrasi elektoral kita.
5. Mendesak Partai Golkar sebagai partai yang sangat matang dan berpengalaman dengan fraksi yang kuat di DPR-RI untuk segera mengambil langkah signifikan untuk menghentikan politik dinasti ini dengan menggalang fraksi-fraksi lainnya merevisi paket UU Politik khususnya UU Parpol dan UU Pilkada dan terkhusus lagi mengupayakan langkah politik yang perlu dan mendesak menghidupkan kembali Pasal 7 huruf r UU nomor 8 Tahun 2015 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Termasuk mencari cara dan terobosan politik menghalangi bekas narapidana korupsi kembali mencalonkan diri dalam Pilkada yang justru dibolehkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi.
Demikian sikap dan tanggapan Nagara Institute demi pengembalian marwah parpol dan penghormatan kepada rakyat sebagai pemilih.