Belum Sepekan, Burhanuddin Cabut Lagi Aturan Pemeriksaan dan Penahanan Jaksa dengan Izin Jaksa Agung
Kejagung cabut surat pedoman nomor 7 Tahun 2020. Aturan itu berlaku tidak sampai sepekan setelah ditandatangani Jaksa Agung RI ST Burhanuddin.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI kembali mencabut surat pedoman nomor 7 Tahun 2020 tentang pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Aturan itu berlaku tidak sampai sepekan setelah ditandatangani Jaksa Agung RI ST Burhanuddin.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Hari Setiyono mengungkapkan alasan pencabutan kembali pedoman tersebut.
"Jaksa Agung dengan pertimbangan telah menimbulkan disharmoni antar bidang tugas sehingga pemberlakuannya saat ini dipandang belum tepat. Dengan ini pedoman nomor 7 tahun 2020 tentang pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. dinyatakan dicabut," kata Hari dalam keterangannya, Rabu (12/8/2020).
Pencabutan itu telah diputuskan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI nomor 163 Tahun 2020 tentang pencabutan pedoman nomor 7 tahun 2020 yang ditandatangani pada 11 Agustus 2020.
Menurutnya, pedoman itu juga belum dikeluarkan secara resmi oleh korps Adhyaksa.
"Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tersebut belum secara resmi dikeluarkan atau diedarkan oleh Biro Hukum Kejaksaan Agung, sehingga beredarnya pedoman tersebut melalui media sosial WhatsApp diduga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab," jelasnya.
Lebih lanjut, Hari menuturkan pihaknya juga akan melakukan penelusuran terhadap pelaku yang diketahui menyebarkan surat edaran internal tersebut.
Sebaliknya, surat pedoman itu telah banyak misinterpretasi di masyarakat.
"Dalam pelaksanaannya menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pedoman pelaksanaannya. Dan hal itu telah dilakukan kajian yang cukup lama, namun hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menerbitkan pedoman terkait pemanggilan, pemeriksaan hingga penahanan jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Nantinya, seluruh kegiatan tersebut harus seizin dari Jaksa Agung terlebih dahulu.
Kebijakan itu termaktub dalam surat pedoman nomor 7 Tahun 2020 tertanggal 6 Agustus 2020. Pedoman itu mengatur tentang pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Surat edaran itu dibenarkan oleh Kasubid Humas Puspenkum Kejaksaan Agung RI, Muhammad Isnaeni. Menurutnya, surat tersebut telah disusun lama oleh Kejaksaan Agung RI.
"Benar dan itu barang yang sudah lama disusun oleh Kejaksaan RI dan itu merupakan pelaksanaan dari pasal 8 ayat (5) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI," kata Isnaeni saat dihubungi, Selasa (11/8/2020).
Isnaeni memastikan kebijakan tersebut tak ada kaitannya dengan kasus dugaan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM) yang tengah ditelisik oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus).
"Tidak ada kaitannya dengan pemeriksaan jaksa PSM," tukasnya.
Dalam surat pedoman tersebut, latar belakang Kejaksaan Agung menerbitkan surat itu karena jaksa seringkali berada dalam situasi yang tidak menguntungkan dari segi keamanan baik harta benda, keluarga bahkan jiwanya sendiri sehingga memerlukan perlindungan hukum.
"Bahwa salah satu bentuk perlindungan terhadap profesi Jaksa diwujudkan dalam bentuk pemberian izin oleh Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana pada saat melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-undang," sebagaimana bunyi latar belakang pedoman tersebut.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan pelindungan kepada jaksa untuk dapat menjalankan profesinya tanpa mendapatkan intimidasi, gangguan, godaaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.
Untuk memperoleh izin Jaksa Agung, instansi pemohon harus mengajukan izin permohonan pemanggilan, pemeriksaan hingga penahanan jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Permohonan izin itu harus disertai dengan beberapa syarat. Syarat tersebut yakni surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, laporan atau pengaduan, resume penyidikan/ laporan perkembangan penyidikan, dan berita acara pemeriksaan saksi.
Selanjutnya Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya ditunjuk oleh Jaksa Agung melakukan pemeriksaan terhadap permohonan izin di atas berikut kelengkapan syarat.
Dalam keadaan tertentu, mereka yang ditunjuk oleh Jaksa Agung berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda terkait untuk memperoleh informasi dan pendapat mengenai jaksa yang hendak dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan.
"Untuk memberikan informasi yang lebih lengkap dan pendapat mengenai jaksa yang hendak dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan, Jaksa Agung Muda terkait dapat melakukan ekspose," demikian bunyi surat pedoman itu.
Permohonan izin pemeriksaan hingga penahanan terhadap jaksa bisa diterima atau ditolak. Peretujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung akan disampaikan kepada pimpinan instansi penyidik paling lama 2 hari kerja.