Nasib Juru Kunci Makam Inggit Garnasih dan Cut Nyak Dhien: Asep Makan Singkong, Oneng Suguhkan Kopi
Kehadiran para peziarah inilah yang membawa rezeki bagi juru kunci yang merawat makam orang-orang yang berjasa bagi republik ini.
Editor: Dewi Agustina
TIDAK banyak orang yang tahu siapa sosok Inggit Garnasih dan Tjut Nyak Dien. Terlebih pada Inggit, karena ia sampai sekarang belum menyandang status sebagai pahlawan nasional.
Pada Tjut Nyak Dhien, orang mungkin ingat namanya karena ia ada dalam buku pelajaran sejarah.
Di antara orang yang sedikit mengenal kedua sosok wanita tangguh ini, selalu saja ada beberapa orang yang berkunjung ke makam Inggit dan Tjut Nyak Dien. Setiap hari, meski terbilang sedikit.
Makam Inggit berada di Pemakaman Umum Caringin, Jalan Makam Caringin, Kelurahan Margahayu Utara, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung.
Hanya memerlukan waktu kurang dari sepuluh menit dari Alun-alun Kota Bandung.
Sementara makam Tjut Nyak Dien berada di kompleks pemakaman anggota keluarga milik Siti Khodijah, tidak jauh dari pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, di Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang.
Baca: Pemprov DKI Jakarta Imbau Warga Gelar Lomba HUT RI Secara Virtual
Dari Kota Bandung butuh waktu sekira 30 menitan. Dari Alun-Alun Sumedang hanya sekira tiga menitan.
Kehadiran para peziarah inilah yang membawa rezeki bagi juru kunci yang merawat makam orang-orang yang berjasa bagi republik ini.
Masyarakat mungkin mengira para juru kunci ini mendapat gaji dari pemerintah setempat untuk keperluan hidupnya.
Pada kenyataannya, tidak semuanya mendapatkan gaji atau honor. Sekali pun dapat honor, seperti yang diterima juru kunci makam Inggit, hanya Rp 1,5 juta.
Honor sebesar itu sangat jauh dari cukup. Apalagi, sang juru kunci menggunakan honor yang kecil itu untuk merawat makam dan area sekitarnya supaya tetap bersih, rapi dan nyaman.
"Untuk biaya perawatan makam Tjut Nyak Dhien, sama sekali tak ada biaya dari mana pun, termasuk tak ada honor untuk juru kunci yang menunggu dan merawat. Untuk kehidupan sehar-hari, istilahnya saya ini mengikuti Ibu Tjut Nyak Dien," kata Asep (56), juru kunci makam Tjut Nyak Dien, saat ditemui Tribun Network di Sumedang, Senin (10/8/2020).
Asep menjaga dan mengurus makam Tjut Nyak Dien sudah enam tahun, bersama ayahnya, Dadan.
Sejak ayahnya meninggal satu setengah tahun lalu, Asep tinggal di area pemakaman sendirian.
Dengan telaten tiap hari ia menyapu, mengecat pagar, melap batu marmer makam, membabat pohon yang sekiranya bakal ambruk dan mengancam ke gazebo makam.
Hal yang sama dilakukan oleh Abah Oneng Rohiman, dibantu beberapa temannya yang lebih muda.
Pria berusia 80 tahun itu sudah bertugas di pemakaman umum Caringin sejak sebelum Inggit Garnasih wafat.
Pada saat istri kedua Soekarno itu wafat, pada 1984, Bah Oneng kemudian bergeser secara khusus menjaga dan merawat makam Inggit.
Baca: Jarang Tersorot, Inilah Inggit Garnasih, Salah Satu Istri Soekarno yang Pilih Cerai daripada Dimadu
Abah Oneng, terbilang beruntung dibanding Asep, sebab ia menerima honor Rp 1,5 juta dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
"Sebetulnya honor Rp 1,5 juta itu jauh dari cukup, karena pemerintah tak memberi biaya perawatan untuk makam Bu Inggit. Jadi kalau ada kerusakan, cat yang mengelupas, atau tiang gazebo yang lapuk, ya uang saya sendiri yang mengeluarkan biaya. Tiap hari ada pengunjung yang memberi sedekah dan kami gunakan untuk merawat," kata Bah Oneng kepada Tribun Network, di Bandung, Senin (10/8/2020).
Sebagai kuncen makam Inggit, Bah Oneng melaksanakan tradisi Inggit, yaitu menyuguhkan kopi kepada setiap pengunjung, dan sebagai tanda penghormatan, pengunjung wajib meminumnya.
Semasa hidupnya, kata Bah Oneng, Inggit selalu menyuguhkan kopi kapada tamu yang datang ke rumahnya saat bersama suaminya, Bung Karno.
"Sudah kebiasaan Bu Inggit kalau ada teman Bung Karno, pasti menjamu kopi, dan saya harus meneruskan tradisi itu ke setiap penziarah," kata Bah Oneng yang ditemani beberapa temannya yang ikut menjaga dan merawat makam Inggit.
Karena kesetiaan dan ketelatenan juru kunci, tak heran makam Inggit dan makam Tjut Nyak Dien tampak bersih, pagar gazebo dan catnya tampak terang, sekeliling rapi, bahkan lantainya bening.
Peziarah pun bisa merasakan kenyamanan. Hanya saja, umbul-umbul kemerdekaan berwarna merah putih di makam Tjut Nya Dien tampak kusam seperti kain yang sudah lama.
"Itu sumbangan dari luar, entah umbul-umbul yang dipakai HUT kemerdekaan kapan, memang kelihatannya kumal," kata Asep, tersenyum.
Baca: HUT RI ke-75, Pertamina Tegaskan Komitmen BBM Satu Harga di 83 Titik
Tak Ada Pejabat
Para peziarah ke makam Inggit dan Tjut Nyak Dien didominasi masyarakat biasa. Tak pernah ada pejabat tinggi datang ke kedua makam tersebut.
Para pentolan PDIP dari tingkat pusat pun, kata Bah Oneng, tak pernah ada yang berziarah. Hanya ada satu anggota DPRD Kabupaten dari Fraksi yang pernah berziarah.
"Kalau Pak Ridwan Kamil pernah datang sewaktu jadi Wali Kota Bandung," kata Bah Oneng.
Para Gubernur, kata Bah Oneng, tak pernah ada, kecuali Aang Kunaefi saat pemakaman Inggit pada 1984.
Termasuk para pejabat pun tak pernah ada yang berkunjung ke makam baik Inggit maupun Tjut Nyak Dien, apalagi selevel presiden, menteri, gubernur, bahkan bupati pun.
Menurut kuncen makam Tjut Nyak Dien, hanya para dandim yang banyak berziarah ke makam Tjut Nyak Dien. Sementara pejabat, dari Aceh pun, tak pernah ada.
"Kalau masyarakat dari Aceh, setiap tahun pasti ada, umunya mereka yang ke Bandung, sekalian berziarah ke sini, biasanya rombongan," kata Asep.
Baik Bah Oneng dan Asep, kedua kuncen itu, tidak terlalu berharap banyak dari pemerintah mengenai biaya perawatan kedua makam itu.
Kalau ada ya disyukuri, tidak ada mereka tak banyak berharap, karena kehadirannya merawat makam tersebut datang dari keikhlasannya.
Asep pernah mengajukan proposal baik ke pemerintah maupun dermawan untuk biaya perawatan makam, namun tak satu pun yang merespon.
Namun ia mengaku pernah dapat bantuan untuk menebang pohon, sebesar Rp 1,5 juta dari Pemerintah Provinsi Aceh, karena pohon itu kalau ambruk pasti menimpa gazebo.
Berbeda dengan makam Inggit yang merupakan Pemakaman Umum Pemerintah Kota Bandung, makam Tjut Nyak Dien berada di pemakaman keluarga H Sanusi, seorang ulama terkemuka di Sumedang.
Asep setiap tahun membayar Pajak Bumi dan Bangunan dari uang yang ia terima dari penziarah, termasuk listrik. Untuk makan sehari-hari, terkadang Asep makan singkong yang ia tanam di sekeliling makam.
Setiap hari, meskipun tidak banyak, masyarakat yang berziarah ke dua makam tersebut, selalu ada. Umumnya mereka yang sudah mengetahui peran dan jasanya bagi bangsa Indonesia.
Tjut Nyak Dien yang gigih membela tanah dan rakyat Aceh dari cengkraman Belanda pernah diangkat ke layar lebar oleh Eros Djarot, dan Christine Hakim berperan sebagai Tjut Nyak Dien.
Sementara kisah Inggit yang mengantarkan suaminya, Bung Karno ke istana kepresidenan, sempat ditulis kisahnya yang herois dan romantik oleh sastrawan kenamaan, Ramadhan KH, berjudul Kuantar ke Gerbang.
Buku tersebut termasuk buku paling bagus dan klasik yang mengisahakan percintaan dan perjuangan Inggit Garnasih dan Bung Karno.
Kisah Inggit pun pernah dipanggungkan beberapa versi dalam bentuk teater, dengan pemeran Maudy Koesnaedi dan Happy Salma yang berpesan sebagai Inggit. (cep/tribunnetwork)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.