Kemenag Beri Kado Buruk bagi Umat Islam dengan Sertifikasi Da
Jika pun sertifikasi diadakan, penerapannya harusnya ditujukan untuk penceramah dari semua agama sehingga tegaklah keadilan
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebut Kementerian Agama (Kemenag) memberikan kado buruk bagi umat Islam apabila tetap menerapkan sertifikasi da'i secara diskriminatif.
Apalagi saat ini Indonesia tengah memperingati HUT Kemerdekaan RI dan menyambut tahun baru Islam/hijriah 1442 H.
Pernyataan HNW sendiri merujuk kepada pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang akan menggulirkan kembali wacana program sertifikasi dai dengan alasan sudah dibahas bersama dengan Wakil Presiden pada Kamis (13/8) lalu.
"Kementerian Agama jangan memberi kado buruk pada umat Islam dengan berlaku tidak adil dan diskriminatif dengan rencana menerapkan sertifikasi penceramah hanya untuk umat Islam," ujar HNW, kepada wartawan, Kamis (20/8/2020).
Menurutnya jika pun sertifikasi diadakan, penerapannya harusnya ditujukan untuk penceramah dari semua agama sehingga tegaklah keadilan, tidak saling mencurigai, dan agar prisip beragama yang moderat, toleran, inklusif itu betul-betul menjadi komitmen bagi semua penceramah dari semua agama.
Baca: Menag: Wapres RI Dukung Percepatan Proses Sertifikasi Halal
"Menteri Agama jangan diskriminatif terhadap umat Islam, dan harus berlaku adil sesuai sila ke-2 dan ke-5 Pancasila. Bila program sertifikasi itu akan dilaksanakan juga, haruslah profesional, amanah, adil, tidak diskriminatif, apalagi dengan politisasi juga," kata dia.
"Karena program pemerintah harusnya untuk semua warga negara secara adil, untuk penceramah semua agama secara adil dan amanah. Apalagi pak Menteri Agama pernah menyatakan bahwa dirinya bukan Menteri Agama Islam, melainkan Menteri Agama-agama," imbuhnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI itu menegaskan meskipun Kemenag mendukung Islam wasathiyah (moderat) dan tasamuh (toleran), dan menolak radikalisme, namun wacana sertifikasi dai yang diskriminatif dan tidak profesional adalah wacana yang berlebihan.
Menurutnya jika bertujuan untuk mencegah radikalisme dan menghadirkan penceramah agama yang moderat, toleran dan tidak radikal, maka lebih baik menghadirkan keteladanan soal toleransi dan moderasi dengan kebijakan-kebijakannya dan membuka ruang dialog.
Baca: HNW: Teror terhadap Deklarasi KAMI adalah Warisan Penjajah dan Ciderai Demokrasi
Dan kalaupun program tersebut hendak diterapkan, HNW menegaskan seharusnya itu diberlakukan kepada juru dakwah dari semua agama.
Seleksinya juga dilakukan secara transparan, menggunakan ukuran-ukuran yang dibenarkan oleh ajaran masing-masing agama, serta ketentuan hukum yang berlaku di NKRI.
HNW mengaku heran dengan 'ngototnya' Kemenag, sebab program sertifikasi penceramah sejatinya tidak ada dalam Janji Kampanye Presiden Jokowi.
Program itu juga tidak menjadi Kegiatan Prioritas Rencana Kerja Pemerintah/Kemenag 2020 sebagaimana yang sudah disampaikan ke DPR baik pada akhir 2019 maupun pada April 2020 setelah refocussing kegiatan akibat Covid-19.
Dia mengaku justru khawatir program yang diskriminatif tersebut dapat menimbulkan kecurigaan kepada pemerintah, saling curiga dikalangan penyebar agama, juga meresahkan kalangan Da’i Islam.
Apalagi bila program itu ditunggangi atau digunakan untuk menyulitkan dai dan umat Islam, padahal mereka dahulu justru sangat berjasa untuk perjuangkan kemerdekaan RI sekalipun dituduh sebagai kelompok radikal oleh penjajah Belanda.
"Kini, masih dalam momentum peringati HUT Kemerdekaan RI ke-75 dan menyambut tahun baru Islam 1442H, sangat disayangkan apalagi di tengah belum mampunya pemerintah melaksanakan kewajiban terkait covid-19, Menag tidak memberikan kebijakan yang menenteramkan sebagai salah satu therapi atasi Covid-19," ungkap HNW.
"Menteri Agama malah akan membalas hadiah dan pengorbanan Umat Islam dulu itu dengan akan memberikan 'hadiah' yang justru meresahkan. Karena program sertifikasi yang sudah diumumkan itu diskriminatif dan tidak adil, sekalipun dengan dalih untuk cegah radikalisme, intoleransi dan lainnya tetapi hanya diwacanakan pemberlakuannya bagi penyebar atau da’i Muslim, apalagi bila itu juga dilakukan dengan cara-cara yang intoleran dan diskriminatif," katanya.