Ditjen AHU Kemenkumham: 8,3 Persen Perusahaan di Indonesia Laporkan Beneficial Owner
terdapat sejumlah kriteria lain yang sulit terdeteksi, seperti kepemilikan kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) telah terbit sejak dua tahun lalu dan mulai diberlakukan setahun kemudian atau 1 Maret 2019.
Meski demikian, sejauh ini tak lebih dari 10 persen atau tepatnya 8,3 persen perusahaan di Indonesia yang sudah melaporkan pemilik manfaat yang sesungguhnya atau beneficial owner (BO) kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemenkumham).
Berdasarkan data Direktorat Perdata Ditjen AHU per tanggal 20 Juni 2020 dari 964.359 perusahaan yang terdaftar, baru 80.085 perusahaan yang melaporkan BO.
"Itu data BO per tanggal 20 Juni 2020," kata Direktur Perdata Ditjen AHU Santun Maspari Siregar lewat keterangan tertulis, Jumat (21/8/2020).
Baca: Beberapa Pekerjaan di Perusahaan yang Diperkirakan Hilang Akibat Pandemi Covid-19
Santun menjelaskan sejumlah kriteria pemilik manfaat dari korporasi ini mudah dideteksi karena secara legal sudah terlampir pada akta atau tercantum dalam anggaran dasar, yakni mengenai kepemilikan saham lebih dari 25 persen, kepemilikan hak suara lebih dari 25 persen serta penerimaan keuntungan lebih dari 25 persen dari laba perseroan per tahun.
Namun, terdapat sejumlah kriteria lain yang sulit terdeteksi, seperti kepemilikan kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris.
Kemudian, kriteria menerima manfaat dari perseroan terbatas, kepemilikan kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun serta pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.
Dengan demikian yang mengetahui persis mengenai BO adalah korporasi itu sendiri.
Apalagi, tidak ada sanksi tegas terhadap korporasi yang tidak melaporkan BO.
Pasal 24 Perpres tersebut hanya menyebutkan 'dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.
Meski demikian, Santun menilai pelaporan BO mengalami perbaikan setelah pihaknya menerapkan sanksi berupa penghentian seluruh proses pelayanan pada Ditjen AHU sebelum korporasi menjalankan pelaporan informasi BO.
"Ini mendorong peningkatan pelaporan BO," kata Santun.
Untuk mendorong peningkatan pelaporan, Santun mengatakan pihaknya akan mengadakan jabatan fungsional baru yang melakukan pengawasan atas BO.
Hal ini seiring dengan terbitnya dua regulasi turunan dari Perpres, yakni Permenkumham No. 15/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham No. 21/2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
Perpres mengenai BO merupakan langkah progresif dalam perbaikan akuntabilitas tata kelola perusahaan di Indonesia.
Bahkan, enam Kementerian yang terdiri dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian dan Kementerian Agraria telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) terkait Pemanfaatan Basis Data Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Bagi Korporasi pada 3 Juli 2019.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengakui kehadiran Perpres mengenai BO membantu kerja-kerja KPK dalam memberantas korupsi.
Terutama dalam menangani kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi.
"Tentu saja jika dalam penanganan perkara-perkara korporasi yang dilakukan KPK tentu akan memanfaatkan Perpres ini," kata Nawawi beberapa waktu lalu.
Diketahui, KPK telah menjerat enam korporasi sebagai tersangka.
Dari enam korporasi itu, PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Enjineering telah diputus bersalah dalam kasus korupsi terkait proyek pemerintah sedangkan PT Putra Ramadhan dinyatakan bersalah dalam kasus pencucian uang.
Meski demikian, Nawawi mengakui, sepanjang semester I 2020 atau sejak pimpinan KPK Jilid V dilantik pada akhir 2019 lalu, belum ada lagi korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Nawawi selain Perpres 13/2018, dalam menangani kasus korupsi terkait korporasi pihaknya juga berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Tentu saja Perpres ini akan sangat bermanfaat sekali ini. Tentu saja penanganan perkara korporasi ini kita tentu merujuk dan berpedoman pada perma 13 tahun 2016 tentang penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi," kata Nawawi.