RCTI Bantah Ingin Membungkam Kreativitas Medsos dengan Uji Materi UU Penyiaran
Kominfo menyatakan jika gugatan dikabulkan MK, akan timbul perluasan makna penyiaran yang membuat ketidakpastian hukum.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua stasiun televisi milik taipan Hary Tanoesoedibjo, RCTI dan iNews, menjadi perbincangan publik.
Hal itu terkait dengan langkah hukum yang diambil dua lembaga penyiaran itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan gugatan uji materi UU Penyiaran terkait live di platform media sosial seperti Facebook, YouTube, Instagram, dan aneka macam lainnya.
Dalam gugatannya RCTI dan iNews meminta agar layanan Over the Top (OTT) seperti Netflix hingga YouTube turut diatur dalam UU Penyiaran.
Salah satu alasannya karena adanya perbedaan perlakuan antara layanan OTT dengan penyelenggara penyiaran konvensional, termasuk dalam hal syarat aktivitas penyiaran.
RCTI dan iNews mencontohkan adanya perbedaan antara TV konvensional dengan layanan OTT, salah satunya terkait kewajiban tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Apabila tidak mematuhi P3SPS, TV konvensional dapat dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara pada layanan OTT tidak ada kewajiban memenuhi P3SPS sehingga luput dari pengawasan KPI.
Perbedaan lainnya yakni layanan OTT tidak wajib mengikuti rule of the game dalam UU Penyiaran seperti (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.
Padahal menurut pihak RCTI dan iNews, layanan OTT seharusnya masuk kategori 'siaran' apabila merujuk Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.
Dengan demikian, menurut pemohon, berbagai macam layanan OTT pada dasarnya juga melakukan aktivitas penyiaran, sehingga seharusnya masuk dalam rezim penyiaran. Perbedaannya hanya terletak pada metode penyebarluasan yang digunakan.
Atas dasar tersebut, RCTI-iNews meminta MK mengubah bunyi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menjadi: Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran;
Baca: Kronologi & Duduk Perkara Gugatan RCTI Terhadap UU Penyiaran, Ancam Kebebasan Siaran Live di Medsos
dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
Sidang gugatan tersebut terus bergulir. Pada Rabu (26/8/2020) lalu pemerintah memberikan tanggapannya.
Dalam tanggapannya, pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai akan terjadi dampak sistemik bila gugatan itu dikabulkan.
Kominfo menyatakan jika gugatan dikabulkan MK, akan timbul perluasan makna penyiaran yang membuat ketidakpastian hukum.
Sejumlah kanal media sosial menjadi harus memiliki izin, termasuk bila masyarakat selaku pemilik akun di kanal tersebut akan melakukan siaran langsung atau live.
Baca: RCTI Trending di Twitter Karena Ajukan Gugatan ke MK, Begini Respon Komisi I DPR
"Mengingat perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ujar Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M Ramli.
Ramli menyatakan, saat ini sudah banyak lembaga yang menggunakan layanan OTT dalam kegiatannya. Baik lembaga negara, lembaga pendidikan, hingga industri kreatif.
Menurut Kominfo, bila kegiatan dalam OTT dikategorikan sebagai penyiaran, lembaga-lembaga tersebut, termasuk perorangan, mau tidak mau harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran. Jika tidak, akan melanggar UU Penyiaran dan bahkan bisa dipidana.
"Hal ini tentunya tidak mungkin, karena lembaga negara, lembaga pendidikan, dan content creator tidak akan dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran yang mengakibatkan kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana," kata Ramli.
Baca: RCTI Trending di Twitter: Isi Gugatan ke MK hingga Pengguna Medsos Terancam Tak Bisa Siaran Live
Selain itu, Kominfo akan kesulitan mengawasi atau membatasi live streaming di media sosial. Alasannya banyak platform media sosial berasal dari luar Indonesia, sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum di dalam negeri.
"Solusi yang diperlukan adalah pembuatan undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet," ucapnya.
Sehari setelah pemerintah menyampikan tanggapannya, nama RCTI langsung menjadi trending. Aneka macam komentar publik bertebaran di media sosial.
Pada Kamis (27/8/2020) sore, topik RCTI sempat menduduki daftar trending topik Twitter Indonesia dengan lebih dari 25,5 ribu tweets.
Banyak netizen yang mengecam gugatan tersebut. Mereka yang tidak setuju apabila UU Penyiaran diubah akibat gugatan RCTI dan iNews.
Menjawab semua tudingan miring soal gugatan itu, pihak RCTI dan iNews memberi penjelasan.
Menurut Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik, RCTI & iNews bukan ingin mengebiri kreativitas medsos dengan uji materi UU Penyiaran, tetapi untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa.
Pernyataan Chris tersebut menanggapi pemberitaan media yang menyebutkan uji materi UU Penyiaran yang diajukan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengakibatkan masyarakat tidak bisa siaran live lagi di media sosial.
Baca: Ahmad Dhani Siap Berkolaborasi dengan Rhoma Irama di Panggung HUT RCTI ke 31
"Itu tidak benar. Permohonan uji materi RCTI dan iNews tersebut justru dilatarbelakangi keinginan melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat YouTuber dan Selebgram dari berbagai belahan dunia dan mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian," kata Chris dalam keterangannya, Jumat (28/8/2020).
Chris melanjutkan, jika dicermati, tidak terbersit, tersirat, ataupun tersurat sedikit pun dalam permohonan untuk memberangus kreativitas para YouTuber, selebgram dan sahabat-sahabat kreatif lainnya.
"Kami mendorong agar UU Penyiaran yang sudah jadul itu untuk bersinergi dengan UU yang lain, seperti UU Telekomunikasi yang sudah mengatur soal infrastruktur, UU ITE yang sudah mengatur soal Internet, dan UU Penyiaran sebagai UU yang mengatur konten dan perlindungan kepada insan kreatif bangsa memang tertinggal perkembangannya. Hal ini yang ingin kami dorong," ujar Chris.
Dalam sidang pada 26 Agustus, sebenarnya MK mengagendakan pemberian keterangan dari pihak pemerintah dan DPR. Namun hanya pemerintah yang hadir diwakili Kominfo.
Sehingga MK bakal menggelar sidang lanjutan pada Senin (14/9/2020) dengan agenda mendengar keterangan DPR dan pihak terkait.
"Sidang akan diundur hari Senin, tanggal 14 September 2020, jam 11.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan DPR dan pihak terkait," ucap Ketua MK, Anwar Usman.
Tanggapan DPR
Sementara itu anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan meminta semua pihak menghargai keputusan RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan.
"Secara konstitusional kita hargai hak RCTI untuk menggugat. Tapi MK yang akan menentukan apakah memang bisa mengubah isi pasal atau tidak," kata Farhan ketika dihubungi, Jumat (28/8/2020).
Menurutnya, opini publik yang negatif terhadap gugatan RCTI yang notabene merupakan badan hukum RI justru menguntungkan bisnis perusahaan over the top (OTT) yang merupakan badan hukum luar negeri.
Oleh karenanya, politikus NasDem tersebut menilai sebaiknya RCTI turut mendukung revisi UU Penyiaran saja.
"Melihat dari permintaan RCTI tersebut, menurut saya lebih baik RCTI ikut mendukung revisi UU Penyiaran yang akan membawa kita ke era digital melalui ASO. Sehingga Lembaga Penyiaran Televisi bisa memasuki era pengembangan konten digital yang luas," kata dia.
Di sisi lain, Farhan mengatakan bangsa Indonesia juga mau tidak mau harus mulai memikirkan filter bagi konten OTT yang banyak melanggar UU Anti Pornografi dan juga merangsang perilaku kekerasan.
Namun, kata dia, berdasarkan pengalaman gugatan di MK selama ini biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK.
"Mempelajari berbagai gugatan di MK, biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK. Tetapi harus masuk DPR RI atau Perppu," ujarnya.(tribun network/dng/dit/dod)