Boyamin Saiman, Sang Peniup Peluit Kasus Djoko Tjandra (1): Rumitnya Mendapatkan Dokumen Rahasia
Terungkapnya skandal tersebut tak lepas dari peran seorang pengacara bernama Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia.
Editor: Dewi Agustina
DJOKO Tjandra, pengusaha papan atas yang buron selama 11 tahun, menyeret sejumlah perwira tinggi Polri dan jaksa di Kejaksaan Agung dalam sebuah skandal hukum.
Terpidana kasus hak tagih Bank Bali Rp 524 miliar tersebut diketahui dapat secara mudah masuk keluar wilayah Indonesia karena mendapat bantuan oknum-onum aparat penegak hukum.
Terungkapnya skandal tersebut ke permukaan tak lepas dari peran seorang pengacara bernama Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI).
Mantan pengacara Antasari Azhar (mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) tersebut sudah sering bertindak sebagai sang peniup peluit alias tukang bongkar-bongkar perilaku lancung yang dilakukan para pejabat dan aparat penegak hukum.
"Saya laporkan temuan saya kepada Ombudsman RI dan Komisi III DPR. Dalam kasus Djoko Tjandra ini, menurut saya terjadi perselingkuhan, baik dalam arti sempit maupun arti luas," kata Boyamin Saiman di kantor Tribun Network, Jakarta, Jumat (28/8/2020).
Berikut petikan wawancara eksklusif dengan Boyamin Saiman.
Anda sering mengungkap kasus-kasus dan perilaku menyimpang yang melibatkan oknum Polri, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah Anda pernah mendapat teror atau intimidasi?
Kalau ada, pasti tidak saya ceritakan, karena ini akan menyurutkan semangat teman-teman yang lain. Anggap saja tidak ada, meskipun belum tentu tidak ada juga.
Baca: Boyamin Saiman Minta Firli Bahuri Mundur Dari Jabatan Ketua KPK Jika Terbukti Lakukan Pelanggaran
Bisa diceritakan bagaimana Anda bisa mengungkap masuk ke luarnya Djoko Tjandra dan adanya suap di balik fenomena itu?
Saya mengurus kasus hak tagih Bank Bali itu sejak 2014. Saat itu saya mempersoalkan Setya Novanto, orang yang pernah terlibat kasus cessie (hak tagih piutang) Bank Bali, namun bisa menjadi Ketua DPR.
Sejak itu saya membuka ‘radar’ terkait dengan kasus Bank Bali.
Kasus Bank Bali itu bermula dari pencairan uang dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) terhadap klaim Bank Bali.
Bank Bali mengaku meminjamkan uang kepada dua bank senilai Rp 905 miliar, namun tidak bisa dibayarkan klaimnya karena tidak terdaftar di Bank Indonesia, dan utang itu tidak ada jaminannya.
Uang akhirnya cair dengan bantuan sejumlah oknum. Hal itu kemudian dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara Rp 905 miliar. Uang yang bisa disita kejaksaan Rp 546 miliar, dan sudah disetorkan ke kas negara.