Soal Kasus Penembakan di Makassar dan Sorong, Usman Hamid Sebut Polisi Sewenang-wenang
“Dua kasus ini kembali menunjukkan kesewenang-wenangan polisi dalam menggunakan kekuasaannya," ujar Usman.
Editor: Malvyandie Haryadi
Kepada Amnesty, Kepolisian Makassar tidak menyangkal penembakan yang dilakukan anggotanya terhadap para korban. Mereka menyatakan petugas mengeluarkan tembakan dalam keadaan yang mendesak. Kasus ini sedang didalami oleh divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Baca: Adik Ipar Edo Kondologit Tewas di Sel Diduga Dianiaya Tahanan Lain, Ini Keterangan Polisi & Faktanya
Kasus di Sorong
Terpisah dari kasus di Makassar, musisi Edo Kondologit mengungkapkan di media sosial pada 30 Agustus 2020 bahwa iparnya, George Karel Rumbino alias Riko, meninggal setelah kurang dari 24 jam berada di Polres Sorong, Papua Barat.
Amnesty International Indonesia mengatakan, menurut Edo dan laporan beberapa media, Riko diserahkan keluarganya ke Polres Sorong karena keluarganya menduga ia terlibat dalam perampokan dan pembunuhan terhadap seorang tetangga perempuan yang ditemukan meninggal pada 26 Agustus 2020.
Dugaan tersebut muncul setelah pihak keluarga menemunkan ponsel dan charger milik korban di bawah tempat tidur Riko.
Keluarga juga menduga Riko berada di bawah pengaruh minuman keras dan narkoba. Ia kemudian diserahkan ke Polres Sorong pada 27 Agustus 2020. Namun keesokan harinya pihak Polres mengatakan Riko telah meninggal dunia.
Edo menduga iparnya tersebut dipukuli dan dianiaya di dalam Polres, kemudian ditembak di bagian kaki saat hendak menyelamatkan diri.
Sementara Polres Sorong justru menyatakan korban diduga dianiaya tahanan lain hingga tewas. Petugas polisi yang berjaga sempat berusaha mengevakuasi korban untuk dibawa ke rumah sakit. Namun akibat luka yang diderita korban cukup parah, nyawanya tak berhasil diselamatkan.
Menurut Usman, tindakan penembakan di Makassar merupakan bentuk pelanggaran hak untuk hidup, hak asasi fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia.
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang memuat perlindungan terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6 dalam ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.”
Sedangkan untuk kasus dugaan penganiayaan di Sorong, hukum internasional telah mengatur standar hak para tahanan dan narapidana selama masa penahanan, termasuk ICCPR, Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (CAT), dan Aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap Tahanan (the Nelson Mandela Rules).
Seluruh ketentuan tersebut melarang seorang pun untuk disiksa, diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi, atau direndahkan martabatnya, termasuk sebagai hukuman terhadap para tahanan.
Setiap negara wajib mengambil langkah efektif untuk mencegah keributan dan tindakan kekerasan di antara para tahanan dengan cara menyelidiki insiden yang terjadi.
Baca: Polisi Investigasi Dugaan Kelalaian Personel yang Sebabkan Adik Ipar Edo Kondologit Tewas di Tahanan
Kegagalan polisi dalam menghentikan praktik penganiayaan yang terjadi antar tahanan menunjukan kegagalan institusi dalam menerapkan Pasal 21 (3) Peraturan Kapolri No. 14/2011 tentang Kode Etik Kepolisian. "Hal ini karena polisi dianggap lalai dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya," ujarnya.
Ia menambahkan, selain itu, penggunaan senjata api oleh aparat juga harus sesuai dengan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials), yang melarang penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum kecuali apabila mutlak diperlukan untuk melindungi diri atau untuk membela orang lain dari ancaman kematian.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.