Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pimpinan MPR Kritik RUU Ciptaker Karena Sanksi Pidananya Sasar Pesantren

HNW beralasan sanksi pidana RUU Ciptaker dapat berpotensi mengkriminalisasi penyelenggara pendidikan pesantren.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pimpinan MPR Kritik RUU Ciptaker Karena Sanksi Pidananya Sasar Pesantren
Ist
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. 

Di sisi lain, HNW mengapresiasi langkah Kementerian Agama yang memberikan klarifikasi untuk menjelaskan sanksi pidana terhadap penyelenggara satuan pendidikan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker tersebut tidak berlaku untuk Pesantren. Utamanya karena telah hadir Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

"Pernyataan Menag bahwa dalam konteks ini berlaku asas lex spesialis derogat deli generali, yakni aturan UU Pesantren yang bersifat khusus mengesampingkan aturan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker, patut disosialisasikan dan didukung. Namun, pernyataan itu belum cukup," tegasnya.

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, HNW mengatakan akan lebih baik dan efektif apabila asas itu disebutkan definitif ke dalam norma/pasal suatu undang-undang.

Menurutnya, hal tersebut dapat meminimalisasi sengketa penafsiran di kemudian hari oleh aparat penegak hukum di lapangan, sehingga bisa berujung kepada kriminalisasi Pesantren dan para Kiyai/Ustadz Pengelola Pesantren.

"Apa jaminannya polisi, jaksa atau hakim akan mengikuti cara berpkir Menag tersebut, ketika teks perundangannya berbunyi seperti itu. Itu lah sebabnya pengecualian atau pengkhususan tersebut perlu ditulis secara tegas dalam UU Cipta kerja.

Menag harus bisa memastikan bahwa asas lex spesialis untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren itu disebutkan sebagai pengecualian dalam Omnibus Law RUU Ciptaker untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para penyelenggara pendidikan Pesantren agar tidak dikriminalisasi," kata dia.

HNW juga menyadari bahwa ketentuan Pasal 71 ayat (1) juga bukan hal yang benar-benar baru karena juga diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Berita Rekomendasi

Namun, dia menilai munculnya kembali ketentuan tersebut dalam Omnibus Law RUU Ciptaker telah membangkitkan kewaspadaan umat Islam agar kriminalisasi tidak dijatuhkan kepada penyelenggara Pesantren baik tradisional maupun modern.

Selain itu, HNW juga mempertanyakan dihapusnya Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dalam UU Sisdiknas melalui Omnibus Law RUU Ciptaker ini.

Padahal, ketentuan itu memuat sanksi pidana bagi para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah atau gelar akademik tanpa hak dan setiap orang yang menggunakan ijazah atau gelar akademik terbukti palsu.

"Disinilah salah satu keanehan Omnibus Law RUU Ciptaker. Pasal 71 UU Sisdiknas yang berpotensi mengkriminalisasi Pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan malah dipertahankan, tetapi Pasal yang memberikan sanksi terkait ijazah palsu justru dihapuskan," kata HNW.

"Seharusnya melalui RUU Ciptaker ini justru para penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah palsu atau pemberi gelar akademik dikuatkan sanksi pidananya, dan penyelenggara Pesantren didukung dan tidak malah dibuka celah hukum untuk dikriminalisasi," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas