Satu Partai Minta Rp 300 Miliar, Rizal Ramli Ajukan Uji Materi UU Pemilu ke MK
Dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capre, maka pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekonom Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Poin utama gugatan adalah penghapusan ambang batas syarat mencalonkan presiden atau presidential threshold menjadi 0 persen.
Rizal mengajukan gugatan tersebut bersama rekannya saat dipenjara pada 1978 lalu, Abdul Rachim Kresno.
Waktu itu, keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis. Kini, mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi.
Rizal dan Abdul Rachim mendaftarkan gugatan tersebut ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020. Adapun yang bertindak sebagai kuasa hukum adalah Refly Harun bersama Iwan Satriawan, Maheswara Prabandono, dan Salman Darwis.
Usai mendaftarkan gugatannya, Rizal menjelaskan alasannya meminta agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen.
Menurut mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, salah satunya alasannya karena demokrasi saat ini menjadi seperti kriminal.
"Kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus. Tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata Rizal di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).
Rizal mengatakan, dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres-cawapres, maka pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas dan terhindar dari money politic karena aturan PT.
"Kita ingin hapuskan jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden," ucap Rizal.
Baca: Rizal Ramli: Saat Ini Terjadi Demokrasi Kriminal
"Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Siapa ya kan? Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" katanya.
Mantan Menko Maritim itu mengungkapkan, threshold 20 persen kursi DPR telah melahirkan praktik 'sewa parpol' untuk menjadi capres-cawapres.
Bahkan, untuk maju sebagai calon di pilkada, baik pilbup atau pilwalkot pun harus menyetor sejumlah uang ke parpol. Nilainya pun fantastis, mencapai ratusan miliar.
"Makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal. Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara Rp 30 sampai Rp 50 miliar," kata Rizal.
Praktik itu kata Rizal juga terjadi di ajang pilpres. Ia bahkan mengaku pernah ditawarkan maju pilpres asalkan membayar sejumlah uang ke partai.
"Pemilu Presiden tarifnya lebih gila lagi. Saya 2009 pernah ditawarin. ’Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kata partai butuh uang untuk macam-macam.’ Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris Rp 1 triliun. Itu 2009. 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal," lanjutnya.
Rizal menilai praktik itu yang merusak Indonesia, dan harusnya KPK fokus pada praktik money politics.
Baca: Kiat dari Rizal Ramli Agar Petani Raih Double Income Plan
Rizal Ramli juga menyebut MK melegalkan praktik politik uang karena threshold dibiarkan di UU Pemilu.
Karena itu, agar bisa menghilangkan sistem demokrasi kriminal tersebut, Rizal menilai presidential threshold harus dihapus jadi 0 persen. Sehingga, demokrasi yang sesungguhnya bisa terlaksana di Indonesia.
"Saya harap kali ini, saya akan bujuk teman-teman MK marilah kita berpikir untuk Indonesia yang lebih hebat, yang lebih makmur. Kita hapus threshold ini supaya kalau tidak threshold ini jadi sekrup pemerasan," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Refly Harun menjelaskan alasan utama gugatan adalah agar terjadi persaingan yang adil dalam Pilpres.
"Ini kita mengajukan judicial review terhadap ketentuan presidential threshold (PT). Kita menginginkan PT 0 persen alias tidak ada agar kemudian pilpres ke depan itu lebih berkualitas dan kemudian fair kompetitif," kata Refly.
"Bisa membuka kesempatan orang-orang terbaik di republik ini untuk menjadi calon dan yang terpenting bisa menghilangkan demokrasi kriminal. Jadi argumentasi ada dua yaitu argumentasi yang konstitusional dan argumentasi yang non konstitusional," lanjut Refly.
Baca: Rizal Ramli: Sri Mulyani Tidak Berani Ambil Tanggung Jawab
Sejauh ini, PT 20 persen secara tak langsung menciptakan demokrasi yang tak sehat di Indonesia. Refly menyebut demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi kriminal.
"Bang Rizal mengatakan demokrasi kriminal, adanya cukong salah satunya gara-gara threshold ini. Orang mau jadi presiden harus beli perahu sekarang gila-gilaan uangnya triliun, karena itu putra terbaik enggak bisa nyalon," ujarnya.
Untuk itu, dia bersama rekan-rekannya akan memperjuangkan PT 0 persen ini agar semua orang yang potensial bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin.
"Agar dia bisa nyalon di-nol-kan threshold ini. Jadi siapa pun parpol peserta pemilu bisa nyalon, tidak seperti 2014 dan 2019 semua partai dibeli oleh kelompok besar lalu ada dua calon saja," ujarnya. (tribun network/yud/ham/dod)