Ucapan Puan soal Sumatera Barat: Tokoh Minang Sebut Keseleo Lidah, Pakar Katakan Introspeksi
Masih menjadi polemik pernyataan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, terkait Sumatera Barat.
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Sri Juliati
Dalam indeks Kota Toleran, lanjut Ade, Padang termasuk dalam kelompok lima wilayah paling intoleran di Indonesia.
Selain itu, beberapa bulan yang lalu, Gubernur Sumbar melarang aplikasi Injil berbahasa Minang.
Berdasarkan informasi yang diterima Ade, Gubernur Sumbar melakukannya karena desakan para pemuka Islam di sana.
"Itu maksudnya apa? Kalau orang Sumbar memang Pancasilais, mereka pasti akan gembira menyaksikan umat Kristen di sana memiliki Injil berbahasa Minang," jelas Ade.
Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini menjelaskan, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, itu berarti rakyat Indonesia, di seluruh Tanah Indonesia, harus menghargai hak manusia beradab untuk berbeda, termasuk dalam beragama dan berkeyakinan.
Sila Persatuan Indonesia, tambah Ade yang mengaku memiliki darah Minang ini, berarti semua masyarakat Indonesia adalah satu keluarga, terlepas dari perbedaan keyakinan dan agama.
Ade sendiri pernah mengkritisi Gubernur Sumbar karena kebijakannya melarang aplikasi Injil berbahasa Minang.
"Saya pun ketika itu mendapatkan hukuman sosial gara-gara mengkritik keputusan tersebut. Saya bahkan dinyatakan dipecat dari adat Minangkabau karena menyatakan keputusan Sumbar itu mencerminkan keterbelakangan."
Baca: PKS Minta Puan Maharani Minta Maaf ke Masyarakat Sumbar
"Untung banyak juga orang-orang Sumbar yang mengontak saya dan meminta saya jangan minta maaf pada pemuka adat dan gubernur. Mereka juga malu dengan kelakuan para pemuka adat mereka," kata dia.
Ade menyadari Sumbar juga memiliki intelektual kritis dan terbuka saat ini.
Sebut saja Buya Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Emil Salim, Taufik Abdullah, Philip Vermonte, Asvi Warman Adam, Andrinof Chaniago, Jeffrey Geovani, Saldi Isra, Hamdi Muluk dan Arbi Sanit.
Namun, Ade mengingatkan mereka semua adalah orang Minang yang sudah meninggalkan Sumbar.
"Bahkan tokoh sebesar Buya Syafii Maarif dianggap sebagai 'Malin Kundang' oleh sebagian warga Sumbar."
"Jadi yang diprihatinkan bukanlah orang Minang. Melainkan pemerintahan, pemerintahan nagari, pemuka adat, dan kelompok-kelompok masyarakat berpengaruh di Sumbar."