Dinilai Meresahkan dan Memunculkan Polemik, Kemenag Diminta Tak Lanjutkan Sertifikasi Penceramah
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Kementerian Agama menyudahi kontroversi sertifikasi penceramah yang tidak produktif dan justru meni
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Kementerian Agama menyudahi kontroversi sertifikasi penceramah yang tidak produktif dan justru menimbulkan keresahan dan polemik.
Tak hanya itu, sertifikasi penceramah diketahui juga memicu penolakan oleh masyarakat luas seperti Muhammadiyah, MUI, bahkan ditolak oleh tokoh non muslim seperti Christ Wamena.
Menurut HNW, pemunculan program yang kontroversial, tidak adil, dan tendensius tersebut sangat tidak tepat di tengah keprihatinan umat dan bangsa yang sedang tertimpa musibah Covid-19. Apalagi pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi mengarahkan agar semua pihak fokus dan sibuk mengurusi Covid-19.
"Sekalipun saya setuju untuk terus mengarus-utamakan ceramah dan laku agama yang moderat/wasathiyah, tidak radikal/tathorruf, dan orientasinya hadirkan rahmatan lil alamin, yang mestinya Menag dan Kemenag memberikan keteladanan lebih dulu, bukan dengan mewacanakan sertifikasi. Apalagi program yang kontroversial itu juga bisa hadirkan keresahan sosial di kalangan umat, yang tidak membantu hadirkan penguatan imunitas untuk atasi Covid-19," ujar HNW dalam keterangannya, Selasa (8/9/2020).
Baca: Kemenag Pastikan Penceramah Bersertifikat, Bukan Sertifikasi Profesi
Baca: Kementerian PUPR Percepat Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
HNW mengingatkan bahwa program sertifikasi penceramah tidak pernah muncul dalam program kerja maupun prioritas rencana kerja Kementerian Agama beserta anggarannya yang disampaikan Kemenag ke DPR. Karenanya program ini juga belum pernah dibahas dan disetujui oleh Komisi VIII DPR RI.
Dia kemudian mempertanyakan Kemenag yang sangat bersemangat menggulirkan wacana ini dan membuatnya seolah-olah program yang sangat prioritas, tetapi tak pernah mengajukannya sebagai program apalagi program kerja prioritas.
Padahal sejak dari awal raker Menag dengan komisi VIII DPR, HNW mengatakan selalu saja DPR mengkritik keras dan menolak wacana soal 'radikalisme yang tak ada definisi dan ukurannya' yang diwacanakan oleh Menag.
"Tapi sejak itu pun, tak pernah Kemenag menyampaikan program prioritas maupun non prioritas terkait sertifikasi penceramah dikaitkan dengan isu radikalisme, untuk dibahas dan disetujui oleh Komisi VIII DPR RI. Lantas, bagaimana program ini bisa muncul dan dilaksanakan? Bagaimana legalitasnya? Siapa yang membiayainya? Untuk kepentingan apa dan siapa?" kata dia.
Menurutnya jika memang tujuan sertifikasi adalah untuk penyuluhan dan pembekalan, selama ini Kemenag telah bekerja sama dengan MUI yang memiliki program pembekalan penyuluh.
Sertifikasi penceramah yang demikian banyak apalagi melibatkan berbagai lembaga negara seperti BNPT hingga BPIP juga bukan hal yang mudah dan murah. Mengingat misalnya Kemenag dalam melakukan sertifikasi dosen dan guru saja masih memiliki banyak kendala dan masalah, apalagi dengan terbatasnya anggaran negara akibat merosotnya penerimaan pajak, dan kebijakan umum untuk realokasi anggaran agar difokuskan pada penanganan covid-19.
HNW mengkhawatirkan pelibatan BNPT dan BPIP dalam proyek sertifikasi ini akan memunculkan stigma radikal dan tidak pancasilais pada penceramah yang tidak bersertifikat. Padahal, tolok ukur sertifikasi ini sangat tidak jelas dan tidak pernah disosialisasikan/diuji-publik, untuk hadirkan hasil obyektif yang dipercaya oleh publik/umat.
"Sementara sejarah telah membuktikan para penceramah umat Islam (Ustadz, Muballigh atau Kiyai) selalu berada di garda terdepan dalam mencerahkan Umat untuk membela NKRI baik dari ancaman penjajah asing maupun pengkhianatan PKI," ungkapnya.
"Kini Menag bukan hanya melupakan sejarah itu, tapi justru akan para menghadiahi para penceramah dengan label radikal, intoleran, dan tidak pancasilais, kepada para da’i dan penceramah hanya karena dianggap tidak lulus program untuk mendapatkan sertifikat penceramah/da’i, suatu hal yang tentu sangat menyakitkan hati umat Islam," imbuhnya.
Anehnya, kata dia, meski Menteri Agama Fachrul Razi begitu seriusnya dengan wacana program sertifikasi ini, Dirjend Bimas Islam malah menyatakan program ini tidak punya konsekuensi apapun.
Bila benar demikian, HNW menilai seharusnya Kemenag tidak ngotot membuat program yang meresahkan umat dan ditolak banyak pihak itu. Apalagi program dan anggarannya belum pernah disampaikan dan disetujui oleh DPR.
"Maka harusnya program kontroversial dan tak produktif seperti ini, dibatalkan dan dihentikan saja. Dan agar Menag fokus laksanakan program kerja prioritasnya serta berkontribusi maksimal atasi covid-19 melalui program-program di Kemenag," tandasnya.