Raja dan Ratu Keraton Sejagad Divonis Penjara 4 Tahun dan 1,6 Tahun Karena 'Sebar Berita Bohong'
Keduanya dihukum penjara masing-masing empat tahun dan satu tahun enam bulan oleh Pengadilan Negeri (PN) Purworejo, Jawa Tengah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, PURWOREJO - Toto Santosa, yang menyebut dirinya sebagai pemimpin Keraton Agung Sejagat, bersama istrinya, Fanni Aminadia, divonis bersalah "menyebarkan berita bohong".
Keduanya dihukum penjara masing-masing empat tahun dan satu tahun enam bulan oleh Pengadilan Negeri (PN) Purworejo, Jawa Tengah.
Dalam sidang pembacaan vonis yang digelar secara daring, Selasa (15/09/2020), Toto dan Fanni terbukti "menyiarkan berita bohong" dan pemberitahuan bohong dengan sengaja".
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat sebagaimana dalam dakwaan primer JPU," kata ketua majelis hakim, Sutarno, dalam amar putusannya.
Baca: Cita-cita Baru Fanni Aminadia Setelah Gagal Jadi Ratu Keraton Agung Sejagat
"Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa satu, Totok Santoso dengan pidana penjara selama empat tahun dan terdakwa dua, Fanni Aminadia dengan pidana penjara selama satu tahun enam bulan," ungkap majelis hakim, seperti dilaporkan Detikcom.
Putusan bagi Toto dan istrinya, Fanni, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut masing-masing lima tahun bagi Toto dan 3,5 tahun buat Fanni.
Siapa Toto Santosa dan Fanni Aminadia?
Toto Santosa, orang yang mengaku sebagai pemimpin Keraton Agung Sejagat, bersama istrinya, Fanni Aminadia, mulai dikenal luas setelah menggelar acara Wilujengan dan Kirab Budaya, awal Januari 2020, di Desa Pogung Juru Tengah, Kabupaten Purworejo, Jateng.
Menyebut sebagai raja-ratu kerajaan itu, mereka mengklaim memiliki banyak pengikut dan mendirikan sejumlah bangunan di desa itu.
Tindakan dan ucapan mereka kemudian diliput oleh media secara meluas dan memunculkan kontroversi.
Polda Jateng kemudian menahan Toto dan istrinya, pertengahan Januari 2020, dan tidak lama kemudian menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan penipuan dan kebohongan.
Keduanya disangka menarik dana dari masyarakat dengan menggunakan tipu daya melalui simbol-simbol kerajaan dengan harapan kehidupan akan berubah. Dilaporkan Toto mengklaim sebagai raja penerus kerajaan Majapahit.
Sepekan kemudian, 21 Januari 2020, Toto-Fanni membuka suara dan meminta maaf melalui media, serta mengaku keraton yang didirikannya fiktif.
"Saya mohon maaf dimana Keraton Agung Sejagat itu fiktif. Yang kedua, janji kepada pengikut saya juga fiktif," kata Toto di hadapan pers.
Walaupun demikian, Toto mengatakan dia tidak melakukan penipuan, seperti disangkakan oleh polisi.
"Tidak benar kami melakukan penipuan," kata Toto tanpa mau menjelaskan secara rinci, dengan alasan kasusnya masih dalam proses penyidikan.
Mengapa masyarakat tertarik bergabung ke Keraton Sejagat?
Walaupun Toto akhirnya mengaku kerajaannya fiktif belaka, namun muncul pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai 'kemampuannya' dalam menghimpun anggota, yang menurut polisi mencapai 500 orang,
Peneliti tentang kemunculan kerajaan-kerajaan 'baru' di Indonesia, yang juga staf pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, menyebut sosok Toto memiliki kemampuan "masuk ke dalam struktur keyakinan masyarakat sehingga mampu mendapat pengikut dan percaya apa yang dikatakannya".
Bayu mengamati sebagian besar pengikut Toto berasal dari kalangan menengah ke bawah secara ekonomi, dengan latar pendidikan "kurang memadai", serta sebagian besar berusia tua.
"Pada kondisi masyarakat seperti itu, secara psikologis ketika ada seseorang yang menawarkan 'hey, Anda itu penyelamat dunia loh', mereka akan tergerak," kata Bayu kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan untuk BBC Indonesia, akhir Januari 2020.
"Mereka lalu berpikir, bahwa hidup mereka tidak muspro, ada sesuatu yang mereka bisa sumbangkan untuk dunia ini, lewat sosok Toto," jelasnya.
Dia memperkirakan, Toto mampu masuk dalam ruang psikologis di mana orang-orang marginal itu merasa dibutuhkan.
"Dan orang diberi eksistensi yang sebenarnya itu semu," papar Bayu.
"Tetapi orang tidak tahu kalau eksistensi itu semu."
"Mereka butuh untuk diakui, dan Toto menawarkan itu, sehingga ajakannya disambut dengan suka cita. Bahwa itu tidak gratis, iya, tapi dugaan saya, mereka bergabung bukan hanya iming-iming gaji," jelas Bayu lebih lanjut.
Sejumlah pengunjung menyaksikan batu prasasti di komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/01).
Apakah klaim Toto sebagai penerus kerajaan Majapahit bisa dipertanggungjawabkan?
Polda Jateng mengatakan telah mendatangkan ahli sejarah untuk menguji klaim Toto yang mengaku keturunan raja-raja Majapahit.
"Sudah kita cek ahli sejarah dan budaya, tidak ada keturunan raja Mataram atau Majapahit, dia sudah akui kalau mengada-ada," kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Iskandar Fitriana Sutisna kepada wartawan di ruang kerjanya, pada Januari 2020.
Adanya batu besar di samping rumah Totok yang berisi berbagai ukiran simbol, menurut Bayu, juga tidak masuk akal karena memadukan banyak simbol keagamaan.
Sejauh ini belum ada keterangan langsung Toto Santosa perihal klaimnya tersebut.
Sementara, peneliti tentang kemunculan kerajaan-kerajaan 'baru' di Indonesia, yang juga staf pengajar di Departemen politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, mengatakan "klaim Totok itu tidak masuk akal."
Menurut Bayu, bohong jika KAS diklaim sebagai penerus perjanjian Raja Majapahit tahun 1518, karena Majapahit sebelum 1500 sudah runtuh.
"Tahun itu sudah Kerajaan Demak, jadi itu jelas bohong," kata Bayu.
Adanya batu besar di samping rumah Totok yang berisi berbagai ukiran simbol, menurut Bayu, juga tidak masuk akal karena memadukan banyak simbol keagamaan.