LIPI Ingatkan Potensi Konflik Pilkada Dipicu Pengeksploitasi Keragaman
Karena ketidaksetaraan, maka akan terjadi perbedaan sosial berdasarkan etnis, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Andriana Elisabeth menyatakan Pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu sebaiknya mewaspadai konflik yang dipicu oleh eksploitasi keragaman Indonesia dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020.
Menurut Andriana, konflik horizontal terjadi karena ketidaksetaraan sosial yang menimbulkan gesekan-gesekan sosial dan berpotensi menjadi konflik politik bahkan perang saudara.
Karena ketidaksetaraan, maka akan terjadi perbedaan sosial berdasarkan etnis, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hal itu disampaikan Andriana Elisabeth dalam webinar Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia dalam rangka puncak perayaan Hari Perdamaian Dunia, Senin (21/9/2020).
Baca: Tim SAR Bandung DIturunkan untuk Cari Orang Tersesat di Hutan Kampung Cibogo
"Kemudian akan berpotensi lebih besar dalam konteks masyarakat yang beragam. Kalau dalam perspektif perdamaian dunia, keberagaman itu harus menjadi sumber kekayaan. Tetapi kalau melihat konteks konflik, maka keberagaman ini bisa menjadi sumber persoalan," kata Andriana.
Ia menilai harus ada upaya sejak awal mencegah jangan sampai terjadi lagi kejadian seperti konflik terjadi di Sampit, Ambon, dan lain-lain.
"Jadi beberapa catatan ini bahwa Indonesia potensial muncul kerusuhan berbasis masalah sosial yang tidak selalu diupayakan segera diselesaikan. Ini bahaya laten menurut saya dan harus menjadi catatan kita," ucapnya.
Baca: Pemintaan Pembelian Mobil Bekas Minim Kontak di Carro Meningkat
Selain itu, kerawanan pilkada kali ini juga menyangkut pandemi covid-19.
Masalah-masalah terkait penanganan pandemi di suatu wilayah yang melaksanakan pilkada harus segera diselesaikan.
Pandemi covid-19 juga punya masalah terkait persoalan pemotongan anggaran, data korban, hingga masyarakat yang tidak paham keberadaan covid-19.
"Ini juga akan mengganggu proses Pilkada kalau masyarakat tidak diberi pemahaman bagaimana bahayanya covid-19," imbuhnya.
Baca: Bima Arya Sebut Telah Koordinasi dengan Gubernur Anies Baswedan: Tetap Waspada Siaga
Untuk kerawanan politik, Andriana meminta agar memperhatikan isu netralitas penyelenggara dan ASN, eksploitasi identitas, keterbatasan infrastruktur teknologi/sistem informasi, dan masalah transportasi.
"Berikut tentang keamanan, karena beberapa waktu lalu sudah terjadi pembunuhan di salah satu staf KPU di wilayah pegunungan tengah Papua. Kita harus perhatikan betul keselamatan petugas dalam konteks Pilkada, juga dalam bentuk-bentuk intimidasi atau yang lain, terutama ini kondisi di daerah konflik," jelasnya.
Terkait kampanye, Andriana berharap para calon didorong berdebat soal topik bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara riil di tengah pandemi.
Selanjutnya, bagi sejumlah masyarakat, Pilkada juga adalah momentum mendapatkan keuntungan ekonomi. Maka harus ada pengawasan bagi penerima dan pemberi uang. Di Korea Selatan, tidak hanya yang memberi, tetapi yang menerima juga diproses secara hukum.
Secara nasional, lanjutnya, para pasangan calon harus bertanggung jawab merawat keberagaman Indonesia. Yang belakangan cukup mengganggu adalah masalah intoleransi.
"Mereka-mereka inilah yang seharusnya bertanggung jawab merawat keberagaman kita," imbuhnya.
Sementara, partai politik berperan meningkatkan kapasitas para calon. Parpol harus memastikan bahwa kepala daerah yang nanti terpilih harus lebih baik daripada pemimpin sebelumnya.
"Parpol juga harus mengedukasi ke pemilih tentang bahaya politik uang. Walaupun ini di tengah pandemi banyak yang kesulitan ekonomi, jangan sampai terjadi pragmatisme di situ," katanya.