Anggota Komisi XI: Revisi UU BI Belum Mendesak
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini tengah membahas Rancangan Undang-undang untuk merevisi Undang Undang Bank Indonesia (UU BI).
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
"Di dalam penerapan burden sharing, bebannya banyak diberikan kepada BI yaitu sebesar 53 persen dari beban utang. Jadi dalam pandangan kami, optimalisasi program PEN inilah yang dibutuhkan," ungkapnya.
Sementara terkait pembentukan dewan moneter yang menjadi salah satu poin dalam RUU BI, Anis menegaskan pembentukan dewan moneter menandakan bahwa pemerintah Indonesia tidak belajar dari krisis sebelumnya.
Menurutnya krisis moneter/keuangan 1997/1998 memberi pelajaran bahwa Indonesia menjadi negara yang paling terdampak, baik dari sisi biaya pemulihan maupun sosial. Biaya pemulihan krisis sekitar 40 persen dari PDB saat ini dan untuk bangkit Indonesia memerlukan sekitar 10 tahun.
Saat itu Indonesia mengalami masalah ekonomi multi dimensi termasuk defisit neraca berjalan yang cukup besar dan depresiasi nilai tukar. Meningkatnya ketidakpastian menyebabkan arus modal keluar, diikuti dengan masalah likuiditas di banyak bank.
Sebagai lender of last resort, Bank Indonesia menyediakan pinjaman likuiditas untuk bank, namun, hal ini menyebabkan peningkatan suplai uang dan memacu hiperinflasi. Salah satu faktor pendukung terjadinya krisis di tahun 1997/1998 adalah karena bank sentral tidak independen.
"Kita khawatir dengan dikembalikannya dewan moneter, kita akan terjerumus Kembali kepada krisis yang sama," kata dia.
Oleh karena itu, Anis lebih mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan peran dan kinerja KSSK. Pemerintah telah memiliki KSSK yang didalamnya ada Menkeu, Gubernur BI, Ketua DK OJK dan ketua DK LPS. "Fungsi KSSK bisa dioptimalkan untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih baik," tandasnya.