Metode e-Learning Menurut Wapres Ma'ruf Harus Bisa Diuji dengan Standar Konvensional
Ma'ruf Amin menilai tak boleh ada penyimpangan moral dengan menggampangkan metode pembelajaran secara daring (e-learning).
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai tak boleh ada penyimpangan moral dengan menggampangkan metode pembelajaran secara daring (e-learning).
Peserta didik dengan pendidikan karakter kebangsaan, cinta tanah air, mengutamakan kepentingan masyarakat serta tidak memandang suku, agama maupun golongan harus dibekali oleh setiap civitas akademika.
“Tidak boleh ada alasan terhadap kualitas, baik kualitas pembelajaran maupun pengujian. Mahasiswa harus tetap bisa diuji dengan standar yang sama dengan pembelajaran konvensional, sehingga kualitas pembelajaran dan lulusan program studi ini tetap dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan,” kata Ma'ruf dalam acara Peresmian Universitas Siber Asia melalui konferensi video di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Selasa (22/09/2020).
Baca: Wapres Maruf Amin: Indonesia Bisa Belajar dari Korea Soal Alih Teknologi
Ma'ruf menyebut metode belajar secara online atau e-learning memungkinkan masyarakat untuk belajar kapan dan di mana saja dengan biaya lebih terjangkau dan waktu belajar yang lebih fleksibel.
Namun, dia juga mengingatkan, e-learning memiliki tantangan tersendiri.
Waktu dan tempat belajar yang bisa dilakukan di mana saja berpotensi memunculkan ketidakdisiplinan dalam belajar.
“Para dosen harus keluar dari gaya konvensional dan lebih inovatif dalam menyiapkan materi dan mekanisme pembelajaran, serta memanfaatkan seluruh potensi teknologi yang ada untuk membantu pelaksanaan pembelajaran," tutur Ma'ruf.
"Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut harus lebih mandiri. Mahasiswa harus dapat memanfaatkan seluruh sumber pengetahuan untuk melengkapi proses pembelajaran jarak jauh ini,” ujarnya.
Meski demikian, Ma'ruf mengatakan e-learning dapat mengasah kemampuan teknologi informasi masing-masing peserta didik, sehingga menambah kualitas mereka untuk bersaing di kemudian hari.
“Hal ini sangat diperlukan karena penguasaan teknologi informasi menjadi syarat mutlak dalam upaya meningkatkan daya saing dan kualitas SDM,” katanya.
Dari catatannya, saat ini baru sekitar 20 dari 4.741 perguruan tinggi di Indonesia yang menerapkan e-learning.
Ditambah, data Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi pada 2019 berada pada 30.28 persen.
Selain itu, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS pada Februari 2020, hanya 10.3 persen angkatan kerja Indonesia yang dapat mengakses perguruan tinggi.
“Saya berharap dengan makin banyaknya lembaga pendidikan yang membuka sistem pembelajaran daring atau e-learning, semakin banyak kesempatan masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” pungkasnya.