Gubernur Lemhanas : Komunisme Sudah Mati, Kalau Ada Gejala Tinggal Laporkan ke Pihak Berwenang
"Komunisme di dunia itu sudah mati. Walaupun masih ada partai tunggal, partai komunis, istilah-istilah itu masih ada," ujar Agus Widjojo.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Theresia Felisiani
![Gubernur Lemhanas : Komunisme Sudah Mati, Kalau Ada Gejala Tinggal Laporkan ke Pihak Berwenang](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/bincang-tribunnews-dengan-gubernur-lemhanas-agus-widjojo_20200923_212038.jpg)
Kalau ada sampai tanda-tanda, terus terang menunjukkan atribut-atribut komunisme, atribut-atribut Partai Komunis itu menurut logika adalah sebuah tindakan bodoh. Pasti tidak ada dukungan kuat untuk mereka. Dan mereka menunjukkan identitas secara sangat terbuka, itu namanya bunuh diri. Walaupun di sisi lain harus kita waspadai.
Apa yang kita waspadai, yaitu mereka, individu, golongan yang dulu terkena oleh
tindakan pemerintah untuk menghancurkan komunisme sekitar tahun 1965, 66, 67, 68.
Itu sudah dipulihkan hak politiknya. Ada yang menjadi anggota DPR, siapa tahu banyak juga yang tidak kita ketahui karena sudah dianggap sama dengan warga negara lainnya. Sudah ikut Pemilu, sudah ikut Pilkada mungkin.
Jadi mereka sudah ada di mana-mana, bukan tidak mungkin terjadi bonding karena
persamaan nasib di masa lalu. Dan karena persamaan nasib di masa lalu, bisa saja terjadi katakanlah dari hal-hal yang bersifat untuk nostalgia, reunikah itu, tetapi juga mungkin untuk bisa merebut sesuatu yang lebih berarti.
Jadi tetap kita waspadai. Tetapi jangan terus kemudian menjadi alat politik sebagai alat untuk memobilisasi kekuatan tertentu.Untuk digunakan bagi tujuan-tujuan politik tertentu. Yang sebetulnya itu tidak didasarkan kepada pernyataan yang ada.
Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila sudah jelas. Karena bukti keganasan PKI ada di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Dan ini merupakan kelemahan bagi mereka. Mereka menganggap bahwa keganasan dari peristiwa 1965 hanya dimulai dari 2 Oktober ke depan.
Jadi, mari kita buka semuanya dan kalau dikatakan kenapa menjelang tanggal 1. Saya cenderung untuk menduga bahwa itu digunakan sebagai alat politik. Dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sebagai putra pahlawan revolusi sering bertemu keluarga G30S PKI? bagaimana rekonsiliasi yang terjadi?
Rekonsiliasi itu berdamainya sebuah bangsa dengan masa lalunya. Walaupun masa lalu itu terdapat kesalahan yang telah membelah bangsa ini menjadi bagian-bagian yang menyebabkan polarisasi di dalam bangsa. Merekatkan kembali bangsa yang sudah pecah itulah yang namanya rekonsiliasi.
Yang dikatakan sekarang rekonsiliasi kultural, waktu itu inisiatif yang diambil wali kota Palu, beliau terlibat di dalam peristiwa G30S PKI, memberikan pernyataan dan akhirnya menyatukan anak-anak generasi II dan generasi III dari kedua belah pihak yang terlibat di dalam tragedi 1965.
Mereka disatukan dalam kegiatan kepemudaan, seperti upacara bendera, perkumpulan lainnya. Itu rekonsiliasi kultural. Banyak juga saya dengar, sudah dilakukan generasi muda dari kalangan Islam.
Cenderung lebih banyak dari kalangan NU, yang sudah mengadakan pendekatan kembali dengan keluarga-keluarga eks PKI di masa lalu. Satu hal yang belum dilakukan dalam rekonsiliasi kultural, yaitu pencarian kebenaran.
Baca: Bagaimana Menjaga Ketahanan Nasional di Tengah Pandemi? Ini Penjelasan Lemhanas
Tanpa itu, kita tidak bisa belajar dari kesalahan di masa lalu agar tidak terjadi lagi di masa mendatang. Saya tidak bisa melihat, tanpa rekonsiliasi itu kita bisa menyongsong tantangan masa depan. Saya salah satu penggagas untuk membentuk forum silaturahmi anak bangsa. Terdiri dari generasi II dan III keluarga-keluarga yang terlibat dalam konflik masa lalu.
Di sana ada anak Kartosoewirjo, anak-anak pahlawan revolusi, ada kalangan keluarga PSI, ada anak DN Aidit. Rekonsiliasi hanya bisa dilakukan orang-orang berjiwa besar. Selama orang itu masih menentukan sifatnya bertahan dan defensif, maka sebenarnya kita belum bergerak maju. Bila demikian, maka Indonesia belum bergerak maju, masih ada di posisi tahun 1965 karena orang-orangnya masih menempatkan diri di tahun 65.
Ini kendala besar dalam rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu sebuah kesepakatan, bukan dipaksa, tetapi kesukarelaan untuk menuju ke tengah agar bisa dicapai kesepakatan dan membangun bangsa yang baru menyongsong tantangan masa depan. Itu yang belum bisa diwujudkan, bahwa masyarakat kita belum bisa beranjak dari kondisi psikologis tahun
1965. (tribun network/denis destryawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.