Penjelasan BIN Soal Swab Test, Koordinasi dengan Otoritas Kesehatan dan Kewenangannya Tangani Corona
Jawab pemberitaan yang menduga swab test BIN tidak akurat, Wawan tegaskan BIN uji spesimen gunakan mesin RT PCR dari Jerman dan AS.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) menjelaskan terkait akurasi tes usap atau swab yang dilakukannya, koordinasi dengan otoritas kesehatan, dan kewenangannya dalam penanganan pandemi Covid-19.
Penjelasan tersebut disampaikan Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto terkait pemberitaan yang menduga tes swab yang dilakukan BIN tidak akurat.
Terkait akurasi hasil tes swab yang dilakukan BIN, Wawan menjelaskan dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan dua jenis mesin RT PCR, yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis thermo scientific dari Amerika Serikat.
Wawan mengatakan kedua mesin tersebut memiliki sertifikat Lab Bio Standard Level (BSL) -2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium.
Masih menurut Wawan, kedua mesin tersebut telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional World Bio Haztec (Singapura) serta melakukan kerjasama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil tes sehingga layak digunakan untuk analisis reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang sesuai standar.
Baca: Boni Hargens: BIN Komitmen Membantu Bangsa dan Negara
Baca: Pencegahan Penyebaran Covid-19, Kemenhub Kerja Sama dengan BIN Gelar Swab Test
BIN, kata Wawan, menerapkan ambang batas standard hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi lembaga lain yang tercermin dari nilai CT QPCR 40 meski standardnya 35.
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah Orang Tanpa Gejala (OTG) lolos screening.
Selain itu BIN juga melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1AB.
Wawan menegaskan Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan fenomena hasil test swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tidak terdeteksi lagi.
Apalagi, kata Wawan, subjek tanpa gejala klinis dan di test pada hari yang berbeda.
Sehingga OTG atau asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.
Faktor lainnya yakni terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab sel yang berisi virus covid tidak terambil atau terkontaminasi.
Faktor ketiga yakni sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT nya sudah mendekati 40.
Terkait hal ini, Wawan menyatakan BIN menggunakan reagen Perkin Elmer (USA), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diag (Cina).
Reagen tersebut lebih tinggi standard dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain misalnya Genolution dari Korea dan Liferiver dari China yang digunakan beberapa rumah sakit.
Dengan demikian, kata Wawan, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit.
"BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia," kata Wawan ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Senin (28/9/2020).
Baca: Ratusan Pegawai Ditjen Imigrasi Ikuti Swab Test Massal BIN
Baca: Meski Tak Sesuai Tupoksi, TNI dan BIN Memacu Peneliti Temukan Obat Covid-19
Terkait dengan koordinasi dengan otoritas kesehatan, Wawan menjelaskan, dalam menggelar kegiatan test massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat termasuk di dalamnya Dinas Kesehatan serta Gugus Tugas Daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran covid-19.
"Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada bulan april 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19," imbuh Wawan.
Terkait kewenangan dalam melakukan swab test kaitannya dengan penanganan covid-19, diungkap Wawan, BIN diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara untuk membentuk Satgas dalam pelaksanaan aktivitas intelijen sebagaiman tertuang pada pasal 30 huruf d.
Ancaman kesehatan juga merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN.
"Sehingga dengan dasar tersebut BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas penanganan Covid-19 dengan melakukan operasi medical intelligence (intelijen medis) diantaranya berupa gelaran tes swab di berbagai wilayah, dekontaminasi, dan kerjasama dalam pengembangan obat dan vaksin," tutur Wawan.
Hal tersebut juga dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI), ikut melakukan surveillance penyakit menular di dunia, atau NATO di Eropa yang melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.
"Kehadiran satgas BIN telah mendapat apresiasi positif dari Kementerian atau Lembaga dan Pemda yang menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan tracing di wilayah atau institusinya dengan melakukan tes swab dengan beban anggaran operasi BIN," ungkap Wawan.
Wawan mengatakan upaya-upaya yang dilakukan BIN semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 di antaranya melalui 3 T (testing, tracing dan treatment).
Selain itu upaya tersebut juga dilakukan untuk memperbanyak kapasitas testing di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata test harian yang ditetapkan WHO yakni 1000 test per 1 juta penduduk.
Oleh karenanya BIN bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium BSL 2 dan 3 di berbagai daerah utamanya yang masuk dalam zona merah Covid-19.
Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium, mulai dari RT PCR hingga berbagai peralatan lainnya misalnya reagen dan sebagainya.
Selain itu BIN juga membangun satu lab stasioner berstandar BSL-2+ dan empat unit lab mobile berstandar BSL-2 untuk membantu memercepat dan memperbanyak kapasitas testing yang mampu menjangkau zona-zona merah yang sebelumnya tidak dapat dijangkau
Upaya 3T tersebut, kata Wawan, dimaksudkan untuk mencegah OTG atau asimpotmatik agar tidak menjadi spreader merupakan perhatian bersama dan mengobati pasien Covid-19 kondisi ringan dan sedang, yang dideteksi sejak dini dari tes swab berpeluang sembuh lebih besar serta lebih murah.
"Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil test positif-negatif. Sebagai lini terdepan dalam keamanan nasional sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang intelijen negara, maka BIN berkewajiban membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia," tambah Wawan.